A. PENGERTIAN TUNTUTAN HAK
KEPERDATAAN
Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan
hukum atas hak –hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang melalui proses
peradilan yang dibenarkan menurut hukum untuk mencegah terjadinya
“eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri dalam melaksanakan haknya
sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak
lainnya.
Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut
sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung
sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara
tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR ,142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (pasal 144
ayat 1 Rbg).
HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tempat persyaratan
mengenai isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya. Bagi kepentingan para
pencari keadilan kekurangan ini diatasi oleh adanya pasal 119 HIR (pasal 143
Rbg), yang memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi
nasehat dan bantuan kepada pihak pengugat dalam pengajuan gugatannya. Dengan
demikian hendak dicegat pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang
lengkap.
B. PIHAKPIHAK PIHAK DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam suatu sengketa perdata sekurang kurangnya terdapat dua pihak, yaitu :
pihak penggugat yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat. Dan biasanya orang
yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak di muka
pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Mereka ini
merupakan pihak materil, karena mereka mempunya kepentingan langsung di dalam
perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formil, karena
merekalah yang beracara di muka peradilan.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat di
muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam berperkara
yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu yang bertindak sebagai pihak di
muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain yang
di wakilinya karena yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara
langsung (pasal 383, 446, 452,403-405 BW). Nama mereka harus dimuat dalam
gugatan dan disebut pula dalam putusan ,disamping nama-nama yang mereka
wakilinya adalah pihak materiil.
Disamping itu tidak jarang terjadi suatu pihak materiil memerlukan seorang
wakil untuk beracara di muka pengadilan, karena tidak mungkin beracara tanpa
diwakili. Hal ini terjadi pada badan hukum ,yang beracara atas namanya sendiri
,tetapi memerlukan seorang wakil yang bertindak di muka pengadilan selaku pihak
formil untuk kepentingannya (pasal 8 no 2 Rv, 1955BW).
C. TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN
1.
Pendaftaran Gugatan Langkah pertama
mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut
ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan
ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya – berdasarkan tempat
tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian. Gugatan
tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau
kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itu
dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
2.
Membayar Panjar Biaya Perkara Setelah
gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya
perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya
sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan.
Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang
menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan
dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan,
meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan
biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka
biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara
yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang,
maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut
harus dikembalikan kepada Penggugat.
Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum
Acara Perdata juga mengizinkan untuk berperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge).
Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin
berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri.
Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa
biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan.
Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan
tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan.
3.
Registrasi Perkara
Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku
Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih
lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar
biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan
Negeri namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan
tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan
tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum
dapat diproses lebih lanjut – dianggap belum ada perkara. Dengan demikian,
pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan
dengan belum dilakukannya pembayaran maka kepaniteraan tidak wajib
mendaftarkannya ke dalam Buku Register Perkara.
4.
Pelimpahan Berkas Perkara Kepada
Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku
Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar
prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan –
selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi.
5.
Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua
Pengadilan Negeri
Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan
Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan
memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara
tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim – dengan komposisi 1
orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota.
6.
Penetapan Hari Sidang
Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim
tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat
penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas
perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas
perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil
para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari sidang yang telah
ditentukan itu.
D. PENGGABUNGAN TUNTUTAN HAK
Dalam suatu perkara perdata itu sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak,
yaitu penggugat dan tergugat. Dan perkara perdata yang sederhana, masing-masing
pihak terdiri dari seorang: seorang penggugat dan seorang tergugat yang
menyengketakan satu tuntutan. Tetapi tidak jarang terjadi bahwa penggugat lebih
dari seorang melawan tergugat hanya seorang saja, atau seorang penggugat
melawan tergugat lebih dari seorang atau kedua pihak lebih dari seorang. Hal
ini di sebut kumulasi subyektif: penggabungan dari pada kumulasi subyektif
terjadi misalnya apabila seorang kreditur menagih beberapa orang debitur atau
beberapa orang ahli waris menggugat ahli waris lainya mengenai harta warisan.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam
satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari pada tuntutan yang di
sebut kumulasi obyektif pada umumnya tidak di syaratkan bahwa tuntutan-tuntutan
itu harus ada hubunganya yang erat satu sama lain.
Baik kumulasi subyektif maupun kumulasi obyektif pada hakekatnya merupakan
penggabungan (kumulasi) dari pada tuntutan hak. Kumulasi harus kita bedakan
dari konkursus yang merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak.
Konkursus terjadi apabila seorang penggugat melakukan gugatan yang mengadung
beberapa tuntutan yang kesemuanya menuju pada satu akibat hukum yang sama.
Dengan dipenuhi dan dikabulkanya salah satu dari tuntutan-tuntutan itu maka
tuntutan lainya sekaligus terkabul.
E. UPAYA-UPAYA MENJAMIN HAK
Bertujuan untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya
dikabulkan nanti. Ada beberapa bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh
hukum, yaitu Permohonan Sita/ penyitaan.
Adapun pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang
bersifat eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa,
untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari
kemungkinan dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau
dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut,
untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan agama, yang wajiub membuat berita
acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita bila
dia hadir. Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang
saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Unsur-unsur Dalam Penyitaan antara lain yaitu pemohon sita, permohonan sita,
obyek sita, tersita, hakim, pelaksana sita.
Macam-macam Sita:
1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri
Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir
dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu :
·
Sita
revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak
yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat 2, 1751 BW). Demikian
pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang
bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat
mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145 BW, 232 WvK). Yang dapat
disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Karena
kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap tersebut pada
umumnya tidak ada atau kecil.Untuk dapat mengajukan permohonan sita
revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang
berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau
melarikan barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg).
Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut,
maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk
disimpannya, atau dapat juga barang tersebut disimpan ditempat lain yang patut
·
Sita
Maritaal (ps.823-823 j Rv) Sita Marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan
uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak
dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan
sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya,
dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai
jatuh di tangan pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan, maka
sita marital ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan.
Pernyataan sah dan berharga itu diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial
yang mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat
dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal
tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.
Sita maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang
isteri, yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di
pengadilan, terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan,
untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut
(Ps. 190 BW, 823 Rv). Jadi yang dapat mengajukan sita maritaal adalah si isteri
Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan
harta kekyaan atau milik isteri maupun barang tetap dan kesatuan harta kekayaan
(Ps. 823 Rv). HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat
kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan
sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan.
·
Sita
Jaminan tehadap Barang Milik Debitur Penyitaan inilah yang biasanya disebut
sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari
pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual
barang debitur yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini
hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permintaan kreditur atau penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam
konkretnya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan. Setiap saat debitur atau tersita dapat mengajukan permohonan
kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan
atas barangnya dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan
dari debitur dapat dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan
yang mencukupi (Ps. 227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila
ternyata bahwa sita jaminan itu tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang
yang telah disita ternyata bukan milik debitur. Di dalam praktek dapatlah
dikatakan bahwa pada umumnya setiap permohonan sita jaminan selalu dikabulkan :
hakim terlalu mudah mengabulkan permohonan sita jaminan.
Yang dapat disita secara
conservatoir ialah :
·
Sita
Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208
Rbg)
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau
tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau
mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita
itu dapat pula disimpan ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu
tersita atau tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangnya
atas barang miliknya. Permohonan pelaksanaan putusan yang timbul kemudian
setelah diadakan penyitaan tidak dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi
terhadap barang yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg)
apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus
terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan
saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan
sita rangkap terhadap barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan
barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR, 222 ayat 1 Rbg). Asas
larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas
dimuat dalam pasal 463 Rv.
·
Sita
Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198, 199 HIR 261,
208,214 Rbg)
Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual,
penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya
penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui orang banyak.
Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran
Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan
barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak
dengan mencocokkan batas-batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung
mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada umum,
maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada orang lain,
membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214 Rbg). Penyitaan barang tetap itu
meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan
penyitaan. Kalau barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu
menjadi milik penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik
barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).
·
Sita Conservatoir atas barang bergerak milik
debitur yang ada di tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg) Apabila
debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk menjamin
haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur
yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini yang disebut
derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar
akta autentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan
sita rangkap (Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita
conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR (Ps. 211
Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik debitur, termasuk uang
dan surat-surat berharga, meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada
di tangan pihak ketiga. Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan
atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian.
Disamping tiga macam sita conservatoir seperti tersebut diatas Rv masih
mengenal beberapa sita conservatoir lainnya, yaitu :
·
Sita
Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv) Ada kemungkinannya bahwa debitur
mempunyai piutang kepada kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik
antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara
kreditur dan debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur
juga sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat
dikompensasi.
·
Sita
gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv)
Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan
tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas
barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.
·
Sita
Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal
yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Ps. 757
Rv)
Ratio dari sita conservatoir ini yang disebut juga sita saisie foraine, ialah
untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk
Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata
di Pengadilan Negri.
·
Sita
Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv)
Apakah semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya
semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggung jawab untuk
segala perikatan yang bersifat perorangan (Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas
harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian
dapat disita.
Penyitaan barang milik Negara Pada dasarnya barang-barang milik negara yaitu
seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak
ketiga, barang-barang bergerak milik negara, tidak dapat disita kecuali ada
izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus
dimintakan kepada MA (pasal 65, 66 ICW, S. 1864 no 106)