Selasa, 28 Juli 2015

Lemah, Ulil Amri atau Tegakkan sendiri

Dalam menghadapi isu-isu publik yang perlu kita tindak lanjuti terutama untuk kita yang muslim terhadap berbagai kejadian dzalim, kemungkaran dan lainnya terkadang tidak berdaya dalam menghadapinya mengingatkan kita terhadap suatu hadist yang diriwayatkan daripada Thauban r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setelah aku wafat, setelah lama aku tinggalkan, umat Islam akan lemah. Di atas kelemahan itu, orang kafir akan menindas mereka bagai orang yang menghadapi piring dan mengajak orang lain makan bersama.” Maka para sahabat r.a. pun bertanya, “Apakah ketika itu umat Islam telah lemah dan musuh sangat kuat?” Sabda Baginda SAW: “Bahkan masa itu mereka lebih ramai tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka adalah ibarat buih di laut.” Sahabat bertanya lagi, “Mengapa seramai itu tetapi seperti buih di laut?” Jawab Rasulullah SAW, “Kerana ada dua penyakit, yaitu mereka ditimpa penyakit al-Wahn.” Sahabat bertanya lagi, “Apakah itu al-Wahn?” Rasulullah SAW bersabda: “Cintakan dunia dan takut akan kematian.” Apakah memang seluruh persoalan menjadi beban pemerintah karena Pemerintah yang mempunyai kewajiban didalam mengayomi dan melindungi masyarakat dan pemerintah sendiri mempunyai sistem dan tata cara sendiri dalam mengatasi masalah yang ada didalam masyarakat, hal itu juga yang menjadi anjuran dan serta menjadi pikiran kita apakah ini yang membuat kita diam dan tak berdaya seperti pemikiran diatas atau hanya kita saja yang tidak sabar melihat suatu masalah agar cepat selesai.... Allah berfirman dalam surat An-Nisaa:59: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوااللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِيالْأَمْرِ مِنْكُمْ “ Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian.” Allah berfirman dalam surat Al-Anfal: 46: وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ “ Dan taatlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian saling berselisih, karena akan menyebabkan kalian akan menjadi lemah dan hilang kekuatan, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Disebutkan dalam Shahih Bukhri dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : بايعنا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان “Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk senantiasa mau mendengar dan taat kepada beliau dalam semua perkara, baik yang kami senangi ataupun yang kami benci, baik dalam keadaan susah atau dalam keadaan senang, dan lebih mendahulukan beliau atas diri-diri kami dan supaya kami menyerahkan setiap perkara-perkara itu kepada ahlinya. Beliau kemudian bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata dan bisa kau jadikan hujjah dihadapan Allah.’” Yang menjadi pertanyaan penulis apabila ulil Amri atau sistem pemerintahan tidak berjalan dengan baik perlukah kita membenahinya, menegakkan sendiri keadilan tersebut ataupun dengan cara lainnya sebagaimana anjuran Rasullullah juga bahwa : Dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) HADITS KETIGA PULUH EMPAT عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم] Terjemah hadits / ترجمة الحديث : Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim) Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث : 1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya. 2. Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar. 3. Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar. 4. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemungkaran juga merupakan buahnya keimanan. 5. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya. dari penjelasan diatas semakin dibahas semakin penulis banyak bertanya apa yang seharusnya kita tempuh dalam Menghadapi masalah yang ada di DUNIA ini ????????????????????????????????????????????????????????????????????///////////////

Selasa, 14 Juli 2015

SEBENTAR LAGI LEBARAN BANYAK YANG MUDIK..APA ITU MUDIK ???/HEHHE

Mungkin banyak dari anda yang bingung, apa sebenarnya definisi dari istilah kata mudik. Dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online yang beralamat di bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php Definisi mudik adalah: (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dr Palembang (mudik) sampai ke Sakayu; 2 cak pulang ke kampung halaman: seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yg (mudik); (mudik) menyongsong arus, hilir menyongsong pasang, pb tt usaha yg mendapat rintangan dr kiri dan kanan namun diteruskan juga; belum tentu hilir (mudik) nya, pb belum tentu keputusan atau kesudahan suatu hal atau perkara; kokoh, baik dl soal yg kecil-kecil maupun dl soal yg besar-besar; ke (mudik) tentu hulunya, ke hilir tentu muaranya, pb suatu maksud atau niat hendaklah tentu wujud atau tujuannya; Jika diambil inti sari dari definisi mudik diatas, mudik merupakan berlayar atau pergi ke udik. atau secara bahasa bisa diartikan pulang ke kampung. Selain menurut KBBI diatas, Istilah mudik juga sudah banyak dikenal masyarakat berasal dari kata dasar ‘udik’ yang berarti kampung atau desa yg lawan katanya adalah kota. Ini sejajar dengan istilah “badui” asal Arab yang merupakan lawan dari kata hadhory. Sehingga dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa mudik, adalah kembali ke kampung halaman. Banyak yang percaya, awal sejarah terbentuknya kata mudik berasal dari serapan kata arab. Sebab jika di pecah, mudik terbagi menjadi “Mu” dan “dik” yang berasal dari kata Udik. Awalan Mu- sendiri identik dengan padanan kata arab. Contohnya Mu-zakki yang berarti orang yang berzakat, Mu-Safir yang berartikan orang yang melakukan perjalanan, dan lain sebagainya. Jika memang dipadupadankan dengan serapan arab, maka bisa jadi memang benar istilah mudik berarti orang yang pulang ke kampung (udik) halamannya. Selain istilah mudik yang terindikasi kuat merupakan serapan dari bahasa arab, Indonesia juga mengenal istilah Murid yang berasal dari kata arooda atau yuriidu berarti orang yang menginginkan sesuatu. Sampai tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman. Bahkan, mudik tidak ada kaitannya dengan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran. Ketika itu, mudik dan lebaran adalah dua peristiwa yang tidak ada hubungannya. Setidak-tidaknya, jika kita dapat mencermati sejumlah karya sastra yang bercerita tentang lebaran atau yang secara eksplisit menggunakan judul: lebaran, maka kita akan sia-sia saja mencari kata mudik di sana. Jadi, sampai tahun 1970-an itu, lebaran tidak ada hubungannya dengan mudik atau sebaliknya. Lebaran dan mudik adalah dua peristiwa yang ketika itu tidak ada perkaitannya. Pertanyaannya kini: kapan mulanya mudik mengalami penyempitan makna menjadi pulang ke kampung halaman yang lalu berkaitan dengan lebaran? Fenomena mudik yang lalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966—1977) berhasil disulap menjadi kota metropolitan. Tanpa disadari, sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan penguasa Orde Baru memperoleh legitimasi sosiologis ketika ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air. Jakarta seketika menjadi pusat orientasi sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Bagi penduduk kota-kota lain, dan terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai kota impian. Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Boleh jadi, lebih dari 80 % para urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Dari jumlah itu, lebih setengahnya adalah masyarakat tidak terdidik atau setengah terdidik. Jadi, secara sosiologis, mereka adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang secara kultural satu kakinya berada di kampung halaman dan satu kakinya lagi enggan berada di Jakarta. Dengan kesadaran itu, bagi mereka yang belum dapat menetap dan hidup mapan di Jakarta, secara psikologis, tidak hanya merasa perlu mendapatkan legitimasi sosial atas keberadaannya di Jakarta, tetapi juga sekaligus ingin menunjukkan kehadirannya, keberadaannya, eksistensinya. Di Jakarta, eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya, kehadiran mereka di kampung halaman akan dapat memenuhi harapan itu. Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu. Sebab, pada hari lebaran ada dimensi keagamaan; ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah. Pergi ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya. Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Jadi, sesungguhnya tradisi mudik (Jakarta ke udik) lebih disebabkan oleh problem sosial, dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Lebaran adalah momentumnya. Tengoklah, sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya, seolah-olah di Jakarta mereka telah mencapai sukses. Begitulah, mudik pada hari Lebaran di Indonesia sesungguhnya tidak punya akar tradisi budaya, melainkan lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Mengingat para pemudik sebagian besar adalah mereka yang belum dapat tinggal dan hidup mapan di Jakarta, maka mudik lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk melegitimasi keberadaannya di ibukota sebagai seolah-olah telah mencapai sukses, baik secara materi maupun sosial. Terlepas dari latar belakang munculnya fenomena mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun –menjelang dan sesudah lebaran—selalu sama: antrean panjang karcis kereta api; harga sembako naik, harga tiket bus, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, sampai ke ongkos angkot, bajaj, dan ojek, melonjak seketika; pesta para calo; kemacetan terjadi di mana-mana, dan jatuh korban kecelakaan lalu lintas. Lalu, selepas libur panjang lebaran itu, kantor-kantor pemerintah kosong lantaran para pegawainya menambah jatah libur, orang udik membawa lagi orang udik yang lain, dan masyarakat desa memelihara mimpi mereka untuk dapat menikmati gaya hidup kota. Mudik lebaran pada akhirnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pemerintah atas nama pelayanan masyarakat justru seperti sengaja memanjakan kemudaratan itu. DIKOREA ADA MUDIK JUGA ?? Mudik di Korea berkaitan dengan tradisi budaya yang sejak ribuan tahun lalu dilakukan secara turun-temurun dalam setiap hari raya.Mudik bukan sekadar pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga, melainkan ada dimensi kultural yang sudah melekat menjadi sistem nilai masyarakatnya. Tidak ada sanksi sosial bagi seseorang yang tidak melakukan mudik. Tidak pula dianggap berdosa dan kelak akan masuk neraka. Tetapi, ada nilai sakral, ada orientasi yang jelas berkaitan dengan kehidupan di dunia, ada usaha menjaga harmoni dalam menjaga kebahagiaan segenap anggota keluarga. Maka, mudik menjadi sebuah keniscayaan agar hidup punya orientasi, lebih optimistik, meningkatkan keakraban dalam hubungan keluarga, dan diharapkan di masa mendatang keberuntungan, karier, dan apa pun yang dilakukan bisa menjadi lebih baik lagi dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dengan begitu, mudik bukan lantaran problem sosial, melainkan semacam tuntutan tradisi kultural yang melatarbelakangi dan yang melatardepaninya. Jadi, mudik merupakan tindak pulang kampung lantaran di sana menunggu ritual yang diyakini bakal menjanjikan kehidupan lebih baik. Mudik bagi masyarakat Korea, seperti telah disebutkan, berkaitan dengan hari raya penting. Ada tiga hari raya penting, yaitu dua peringatan tahun baru: (1) tahun baru Masehi yang dikenal dengan istilah Shinjeong, dan (2) tahun baru lunar (Imlek) yang dikenal dengan istilah Solnal atau Gujeong , serta hari raya Chuseok. Meski begitu, yang terpenting dari hari raya itu adalah Tahun Baru Imlek dan hari raya Chuseok. Pada kedua hari raya itu, penduduk Korea akanberkumpul dengan seluruh keluarga di rumah nenek dan kakek. Mereka bersenang-senang di sana dan mengadakan upacara untuk nenek moyang, berziarah ke makam para leluhur sambil menyajikan makanan yang disukai para leluhur itu sewaktu mereka masih hidup. Bagi warga Korea, tahun baru Imlek mempunyai makna sangat khusus yang wajib diperingati setiap tahun. Bagaimanapun, sukses dalam menjalani kehidupan ini hanya mungkin dilakukan jika orang mempunyai kesadaran untuk selalu memperbaharui diri. Maka, pada tahun baru Imlek itulah momentumnya untuk menyiapkan cara bekerja, berfikir, dan bertindak kearah yang lebih baik. Perlu ada keinginan dan harapan. Di samping itu, perlu juga selalu membina hubungan baik dengan keluarga, sanak famili dan handai tolan. Bersamaan dengan itu, segenap anggota keluarga tidak pula melupakan rasa syukur dan terima kasih kepada para leluhur. Di sana pelaksanaan upacara penghormatan pada arwah leluhur merupakan bagian penting dalam hari raya Imlek. Tahun baru Imlek sebagai hari Solnal, konon sudah menjadi tradisi yang turun-temurun sebagai warisan kerajaan Silla sejak ribuan tahun yang lalu. Istilah Solnal berasal dari kata kerja sol-da atau nat-sol-da yang berarti tidak terkenal atau tidak akrab. Kata itu secara tidak langsung menunjukkan sikap hati-hati nenek moyang bangsa Korea dengan datangnya tahun baru. Untuk sesuatu yang asing dan baru, nenek moyang bangsa Korea selalu berhati-hati menyikapinya. Jadi hari raya Solnal atau tahun baru Imlek adalah waktu yang tepat untuk merenung, introspeksi, mengevaluasi kehidupan masa lalu, menyucikan diri, dan sekaligus menatap masa depan dengan penuh kepercayaan diri. Begitulah pada hari raya Chuseok dan Imlek, segenap anggota keluarga berkumpul dan bersama-sama melaksanakan upacara penghormatan kepada para leluhur dan roh nenek moyang. Mereka juga melakukan se bae atau memberi hormat kepada yang lebih tua dan leluhur mereka dan dengan tulus menyampaikan salam hormat kepada kakek—nenek, orang tua, mertua, dan handai tolan sambil menikmati berbagai macam hidangan, mengobrol, tertawa, membangun kebersamaan dan kehangatan sesama anggota keluarga, menciptakan kebahagiaan bersama. Itulah tujuan berkumpul di tanah leluhur, di kampung halaman. Jika berbagai ritual itu sudah dilaksanakan, ada harapan menatap masa depan lebih optimis, lahir sugesti, dan keyakinan untuk melanjutkan kehidupan menjadi lebih baik lagi. Dengan begitu, segala aktivitas di kampung halaman itu, seolah-olah sebagai jaminan spiritual, bahwa nenek moyang dan para leluhur akan mengawal jalan menempuh masa depan lebih cerah menunju kehidupan yang berbahagia. Dengan kesadaran itu, mudik sebenarnya hanya proses untuk sampai ke kampung halaman. Justru di dalam proses perjalanan mudik itulah timbul berbagai masalah. Seperti juga di Indonesia, masalah transportasi kerap menjadi problem serius. Di Seoul saja, dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari satu juta, kemacetan di jalan raya tidak dapat dihindarkan. Di samping itu, pada hari raya itu banyak juga warga masyarakat Korea yang pergi berwisata ke daerah-daerah seperti ke Gangneung dan Donghae di provinsi Gangwon di pesisir timur untuk menyaksikan terbitnya matahari pertama di tahun baru. sebagian besar generasi muda Korea sekarang cenderung memilih berpikir praktis dalam perkara mudik. Demikian juga banyak orang tua yang mulai menyadari bahwa mudik adalah perjalanan yang merepotkan. Maka, meskipun jalan bebas hambatan dari Seoul ke luar kota makin lancar, waktu tempuh makin cepat, dan pilihan naik bus patas atau naik kereta api sama nyamannya, tidak sedikit keluarga yang memilih menghabiskan liburan Imlek atau Chuseok, di Seoul atau pergi ke tempat-tempat wisata, atau bahkan berlibur ke luar negeri. Kini, mudik bagi masyarakat Seoul selama waktu libur Tahun Baru menjadi sekadar pilihan. Masih ada pilihan lain dengan tetap mempertahankan semangat berkumpul dengan segenap anggota keluarga, yaitu pergi ke tempat-tempat wisata di seluruh pelosok Seoul atau ke Pulau Jeju atau berlibur ke luar negeri. Konon, sekarang ini jumlah keluarga yang memilih ke luar negeri selama liburan hari raya, semakin meningkat. Maka kepadatan di Bandara Internasional Incheon[20] dan Gimpo,[21] bahkan juga di pelabuhan Busan, dari tahun ke tahun terus meningkat dan dipadati mereka yang akan berlibur di tempat-tempat wisata atau menghabiskan waktu di luar negeri bersama keluarga. Pertanyaannya kini: bagaimana perkara mudik mengalami pergeseran seperti itu, padahal di sana ada pesan spiritual tidak hanya sekadar berkumpul dengan segenap anggota keluarga untuk menjalin harmoni, tetapi juga semangat berterima kasih dan penghormatan pada leluhur dan nenek-moyang? Apakah dengan begitu, tradisi ziarah membersihkan kuburan para leluhur dan memberi sesajen dan persembahan kepada roh nenek moyang kini mulai diabaikan?Bukankah pengabaian itu bertentangan dengan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun selama ribuan tahun?Apakah penghormatan dan ungkapan terima kasih kepada para leluhur, kepada orang tua atau orang yang lebih tua, sudah mulai diabaikan pula oleh masyarakat Korea generasi sekarang? Demikianlah, mudik di Indonesia dan Korea, meskipun substansinya sama, yaitu pulang kampung atau pergi ke kampung halaman, latar belakang tradisi budaya yang menyertainya berbeda. Di Indonesia, mudik yang dikaitkan dengan lebaran sesungguhnya lebih disebabkan oleh problem sosial akibat ketimpangan penghidupan desa—kota sebagai dampak sistem pemerintahan yang sentralistik dengan menempatkan Jakarta sebagai pusat segala-galanya. Itulah awalnya mudik dikaitkan dengan Lebaran. Padahal, Lebaran hanya sekadar momentum untuk pulang kampung bagi pekerja migran, mereka yang belum dapat hidup mapan, orang-orang udik yang tidak atau belum terdidik, dan perantau setengah hati yang satu kakinya berada di kampung, dan satu kakinya yang lain enggan berada di Jakarta. Sementara itu, mudik bagi warga Seoul memang punya akar budaya yang sudah menjadi tradisi turun-temurun ribuan tahun lamanya. Oleh karena itu, mudik ditempatkan sebagai momentum penting dalam menatap masa depan dalam menjalani kehidupan ini.