Rabu, 28 Januari 2015

AKSI PROPAGANDA DIPERKIRAKAN JUGA TERJADI PADA PILKADA 2015

Paul Joseph Goebbels (Tokoh Nazi) - Ahli Propaganda yang Jahat (1897 - 1945) menyampaikan bahwa menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan! Ia juga mempelopori penggunaan siaran radio sebagai media propaganda massal. Dengan menggunakan radio gelombang pendek yang mampu menjangkau berbagai belahan Bumi, ia menyebarluaskan doktrin Nazi. Bahkan pada 18 Februari 1943, ia mengumandangkan Perang Propaganda Total (Sportpalastrede/ Total War Speech) demi menaikkan moral balatentaraJerman di medan perang. Goebbels menjadi orang ketiga yang paling populer di Jerman setelah sang Fuehrer dan Martin Bormann. Sebuah kedudukanyangternyata membuat ketidaksukaan dari para petingi Nazi lainnya. Goebbels diolok-olok sebagai The Malicious Dwarf (Si Kerdil yang Jahat) dan The Wotan Mickey Mouse.
Propaganda dan Agitasi Kontestasi politik sejatinya adalah permainan persepsi, dimana hal itu tidak akan bisa dilepaskan dari konsep propaganda dan agitasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan propaganda adalah penerangan baik benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Masih dalam KBBI, agitasi adalah hasutan kepada orang banyak untuk melakukan sesuatu biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik. Banyak pendapat para ahli tentang propaganda, salah satunya menyebutkan propaganda sebagai sebuah usaha mengubah pandangan orang lain sesuai dengan yang diinginkan atau merusak pandangan yang bertentangan dengannya (Petty & Cacioppo, 1981). Propaganda tidak mesti bermakna negatif sebagaimana pemahaman Joseph Goebbels, menteri Propaganda Nazi, yang mengidentikkan propaganda sebagai aksi kebohongan yang diulang-ulang agar menjadi sebuah kebenaran. Ada tiga metode yang biasa digunakan dalam melancarkan aksi propaganda, selain cara pertama metode persuasif yang sudah banyak dikenal, ada metode kedua yaitu koersif, adalah komunikasi dengan cara menimbulkan rasa takut agar masyarakat secara tidak sadar bertindak sesuai keinginan sang propagandis. Metode ini dapat kita lihat secara jelas bagaimana dalam Pilpres 2014, baik kubu Jokowi maupun Prabowo melakukannya propaganda dengan cara menakut-nakuti publik. Kubu Jokowi melalui para propagandisnya menyatakan kaum minoritas non-Muslim, kaum Syiah dan Ahmadiyah akan tertindas apabila Prabowo jadi presiden, karena Prabowo didukung oleh kelompok Islam yang intoleran. Propagandis Jokowi juga menyerang Prabowo dengan isu ancaman kekejaman penguasa terhadap rakyat serta terlahirnya kembali rezim otoriter apabila Prabowo menjadi presiden, hal ini dikaitkan dengan memori kasus penculikan aktivis yang dituduhkan kepada Prabowo di masa lalu, dikaitkan juga dengan sikap tempramen ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu. Sementara kubu Prabowo melalui propagandisnya menghembuskan, Indonesia akan semakin didikte oleh asing apabila Jokowi jadi presiden, karena Jokowi sudah direstui Amerika Serikat, aset-aset nasional akan dijual lagi sebagaimana dulu terjadi di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Indonesia akan semakin diinjak oleh Malaysia karena Jokowi didukung mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Propagandis Prabowo juga menakut-nakuti pemilih Muslim dengan menghembuskan isu jika Jokowi berkuasa maka kelompok minoritas, Tionghoa dan non-Muslim, akan mengambil alih kontrol negara. Selanjutnya adalah metode pervasif yaitu menyebarluaskan pesan yang dilakukan secara terus menerus agar komunikan dalam hal ini masyarakat melakukan imitasi terhadap pesan yang disebar tersebut, sehingga tanpa disadari masyarakat sudah menjadi bagian dari agen propagandis. Belakangan ini kita banyak menemukan fenomena penyebaran pesan singkat atau broadcast melalui aplikasi "messenger" di telepon genggam maupun media sosial yang isi pesan itu belum tentu benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan akurasinya. Namun tanpa disadari atau tidak, masyarakat yang meneruskan broadcast tersebut membuat mereka menjadi bagian dari agen propagandis. menjelang PILKADA tahun 2015 hati-hati dengan aksi propaganda para calon kandidat!!!

Selasa, 27 Januari 2015

JANGAN TRUZ ULANGI KESALAHAN YANG SAMA DALAM ISTILAH HUKUM PIDANA

APA ITU KRIMINALISASI ??? Banyak kata-kata yang terucap dan banyak tulisan yang tertulis istilah "Kriminalisasi" terhadap proses hukum yang terjadi terhadap komisioner KPK pak BW oleh Mabes Polri yang pada pokoknya menuduh bahwa pak BW telah di kriminalisasi...apakah istilah tersebut sudah tepat atau perlu kita luruskan??? penulis mengamati bahwa istilah tersebut dapat dimaklumi apabila yang mengucap tersebut adalah orang yang tidak ada mengenyam pendidikan Hukum waktu sekolahnya dulu, tetapi yang miris adalah para pendekar hukum atau berlagak pendekar dengan titel SH nya masih menggunakan istilah tersebut dengan memahami istilah kriminalisasi tersebut seolah-olah artinya "PAK BW SENGAJA DIPIDANAKAN".. sehingga perlu sama-sama kita luruskan dan pahami kembali dasar-dasar Hukum Pidana dalam memahami istilah didalam Hukum pidana..(terutama para REPORTER TELEVISI TUHHHH) Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Yenti Garnasih mengatakan bahwa kriminalisasi adalah suatu perbuatan atau suatu hal menjadi suatu tindakan yang sebelumnya bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Pengertian Kriminalisasi dalam sosiologis adalah proses sosialisasi kriminalitas yang berjalan melalui interaksi social-budaya (Budhy Munawar Rachman : 199). Kriminalisasi juga terkait dengan penambahan (peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada). Berdasarkan pengertian diatas, ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu, tetapi juga berkaitan dengan pemberatan sanksi pidana terhadap pidana yang sudah ada. (Mahrus Ali : 239-240). Nah dari pengertian diatas berdasarkan informasi yang ada dimedia massa dari keterangan pihak Kepolisian pak BW itu dituduh melanggar ikut serta atau menyuruh lakukan Kesaksian palsu di persidangan Mahkamah Konstitusi Pasal 242 KUHP Jo Pasal 55 KUHP....LIHAT KATA KUHP tersebut itu buku diundangkan oleh Negara ini tahun 1946 cuyyyyy melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1946.. nah kalau kita kaitkan dengan peristiwa tersebut diatas dengan apa yang dimaksud Kriminalisasi menurut ahli hukum pidana tentunya maksud dari Kata kriminalisasi terhadap pak BW tidak dan sangat tidak tepat, emang perbuatan PAK BW yang dimaksud belum ada aturan pidananya apa waktu perbuatan tersebut dilaksanakan.... Tolong...sebarkan istilah mendasar ini jangan sampai publik dibodohi terutama para jurnalis selaku penghubung informasi kepada masyarakat jangan lanjutkan kebodohan ini...

Minggu, 25 Januari 2015

KPK DAN POLRI

APA SIH AKAR PERMASALAHAN ANTARA KPK DAN POLRI kita bahas KPK dulu yah.. Bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh lembaga KPK berdasarkan berita http://www.tribunnews.com/nasional/2015/01/21/...menurut Pakar hukum pidana Prof Romly Kartasasmita menilai, penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada yang mengarahkan, itu menurut beliau dan masih banyak juga yang menilai demikian tapi ditanggapi oleh KPK dengan alasan hukum dimana penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan menurut Abraham samad http://nasional.kompas.com/read/2015/01/13/14354311/mengatakan, penyelidikan mengenai kasus yang menjerat Budi telah dilakukan sejak Juli 2014."Berdasarkan penyelidikan yang cukup lama, akhirnya KPK menemukan pidana dan menemukan lebih dari dua alat bukti untuk meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan," kata Abraham, Budi Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, tentunya dengan pendapat Ketua KPK tersebut penulis berpendapat untuk penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan secara hukum tentunya sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP sesuai dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP Jo Pasal 183 KUHAP namun alat bukti yang cukup itu seperti apa tentunya kita semua belum mengetahui hal tersebut.. bagaimana dengan POLRI... Bahwa Kabar yang menggemparkan publik muncul Jumat pagi (23/1/2015) ini ipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3415/1/bambang.widjojanto.ditangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dikabarkan ditangkap oleh Badan Reserse Kriminal Polri. kenapa ditangkap dijelaskan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie dinhttp://nasional.inilah.com/read/detail/2172529/kenapa-bambang-widjojanto-ditangkap-di-jalan-raya "Kita akan tanyakan ke penyidik yang lebib memahami penanganan kasus ini," kata Ronny kepada wartawan di Jakarta, Jumat (23/1/2015). Namun yang jelas, kata dia, polisi menemukan tiga alat bukti yang kuat untuk menangkap Bambang Widjojanto dalam kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK)."Sudah ada pemeriksaan beberapa saksi, kemudian ada bukti-bukti dokumen yang bisa menjadi alat bukti surat, dan bukti ketiga adalah keterangan ahli," kata Ronny. Tiga alat bukti ini juga menjadi dasar bagi penyidik untuk memeriksa Bambang Widjajanto. Ronny juga menegaskan bahwa penangkapan Wakil Ketua KPK ini atas sepengetahuan Kapolri. Menurut hemat penulis 2 permasalahan diatas semua telah dikonfirmasi kepada lembaga yang bersangkutan dan dijawab semua sudah sesuai dengan prosedur penanganan perkara sebagaimana diatur oleh KUHAP..namun permasalahan yang timbul bukan permasalahan hukum yang berkembang di media melainkan bentuk pertarungan 2 lembaga yang selalu dibahas baik media eletronik maupun media cetak... Penulis juga berkomentar bahwa 2 instansi diatas berlindung dibalik legalitas penanganan perkara sebagaimana diatur oleh KUHAP, dimana baik KPK maupun POLRI semua sudah benar sesuai dengan prosedur hukum tetapi meminjam kata pak SBY dulu waktu mengeluarkan statement untuk meredakan konflik antara POLRI dan KPK waktu Novel Bawesdan mau ditangkap yaitu "Timingnya tidak tepat" atau waktunya tidak tepat hahhahahahha...kira-kira seperti itu, dimana KPK menetapkan Komjen BG selaku tersangka pada saat beliau dicalonkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi calon tunggal Kapolri dengan locus dan tempus kejadian juga terjadinya tahun 2004 (cukup lama juga), bagaimana dengan POLRI??? sama juga waktunya begitu cepat dalam waktu singkat sudah mengumpulkan 3 alat bukti dan langsung mengeluarkan surat perintah penangkapan... Kesimpulan: SAMO BAE KATA ORANG BENGKULU.....silahkan pembaca yang memahami sendiri drama yang dimainkan kedua lembaga tersebut, pesan penulis bersikaplah NETRAL dalam memahami permasalahan diatas...

Senin, 19 Januari 2015

Tim Kejaksaan Negeri Curup 18 januari 2015 berhasil mendapatkan juara 4 open tournamenet Perkumpulan pemuda Pasar tengah Cup 2 Rejang Lebong tahun 2015.... semoga kedepan makin jaya kembali...

Kamis, 15 Januari 2015

PAHAMI KORUPSI YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA

Sebelum membahas tentang permasalahan diatas ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya isi Pasal yang tercantum didalam UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjadi idola para penyidik baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan didalam melakukan Penyidikan suatu tindak pidana korupsi sehingga kita tidak asal bicara apa itu “KORUPSI”…. Pasal 2 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) 2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Menurut para akademisi yang memahami Pasal tersebut dengan sudut pandang teori dimana salah satunya adalah pendapat Satochid Kartanegara (Tanapa Tahun : 135-136), delik formil (Delict Met Formeele Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving/delik dengan perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh apabila telah timbulnya akibat yang dilarang. Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Dijelaskan kembali dalam pendapat R. Wiyono didalam bukunya bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan rumusan delik materiil formil pada Pasal 2 tersebut, sanksinya sudah dapat dijatuhkan jika unsur melawan hukumnya telah dipenuhi. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 4 undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus unsur pidananya. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menerangkan: “ Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.” Bahwa ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat didalam pasal 2 Ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menerangkan: “Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal,ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang di anut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.” Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalm Pasal 2 Ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. Dibandingkan ketentuan tentang tindak pidana korupasi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat didalam Pasal 2 Ayat (1) merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merupakan delik materil, yaitu delik yang dianggap telah terbukti dengan telah ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Pada waktu membahas unsur “dapat menimbulkan suatu kerugian” dari Pasal 263 Ayat (1) KUHP, P.A.F. lamintang dengan mengikuti pendapat dari putusan Hoge Raad tanggal 22 April 2007 dan tanggal 8 Juni 1997, mengemukakan pembentuk undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut. Dengan berpedoman dengan pada apa yang telah dikemukakan oleh P.A.F. lamintang seperti tersebut diatas, maka agar seorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1), sudah cukup jika terdapat alat-alat buktti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonimian Negara, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tersebut. Untuk diketahui bahwa pada waktu ada permohonan uji materilterhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan alasan unsur “dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” dalam Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimanadimaksudkan oleh Pasal 28d Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusannya dengan putusan tanggal 22 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan: Menimbang bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang disampaikan oleh semua pihak sebagaimana tersebut diatas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, maka persoalan pokok yang harus dijawab adalah: 1) Apakah pengertian kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) bahwa dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil; 2) Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada Butir 1 tersebut di atas, frasa “dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonimian Negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan; Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan kedepan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut penjelasan Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata “dapat” tersebut sebelum frasa “merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, menunjukkan bahwa tidak pidana korupsi tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan , bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 Ayat (1) sepanjang menyangkut kata “dapat{“ sebelum frasa “merugiakan Keuangan Negara dan Perekonomian negara”. Menimbang bahwa mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi,terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketetapan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa Kerugian Negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan “akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”. Dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi. Menimbang bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan pemohon. Karena, keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana. Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, huvbungan kata “dapat” dengan “merugikan Keuangan Negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim; (1) nyata-nyata merugikan keuangan Negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang “belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret disekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu Kerugian Negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian Negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh para ahli dalam keuangan Negara, Perekonomian Negara serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian. Menimbang bahwa adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya Kerugian Negara atau Perekonomian Negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian Negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli dibidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian Negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenannya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional). Menimbang bahwa oleh karena kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukan diatas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. 2. Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) telah ditentukan “setiap orang”. Dalam Pasal 2 Ayat (1) tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya syarat Pegawai Negeri yang harus menyertai “setiap orang” yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 3, menurut hemat penulis pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dapat terdiri atas: a. Orang perseorangan, dan/atau b. Korporasi. 3. Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1), akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut: A. Secara melawan hukum; B. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; C. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. ad. A penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil “maupun” dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aapabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu: a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau b. Ajaran sifat melawan hukum materiil. Roeslan Saleh mengemukakan: “Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekadar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.” Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu: a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum; b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum. Oleh karena penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Apa sebab Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 megikuti ajaran melawan hukum materiil? Oleh penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan agar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Sebagai contoh dari penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung RI sewaktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yaitu putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275 K/Pid/1983 dengan terdakwa R. Sonson Natalegawa, Direktur Bank Bumi daya, yang didalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan: “Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat”. “Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang Pegawai Negeri menerima fasilitas yang berkelebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar Pegawai Negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupkan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat.” Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas serta dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis. Oleh Indriyanto Seno Adji dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan alasan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara, dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seseorang (korporasi/badan hukum) dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang. Sebagai perbandinganantara kedua penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil tersebut, dapat dikemukakan contoh putusan Mahkamah Agung RI mengenai penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif sebagai berikut: a. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965 dengan terdakwa Machroes Effendi, Patih pada Kantor Bupati/Kepala Derah tingkat I Sambas yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 372 Jo Pasal 52 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. b. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Maret 1977 Nomor 81 K/Kr/1973 dengan terdakwa Ir. Moch Otjo Danaatmadja Bin Danaatmadja, Kepala Kesatuan Pemangkasan Hutan Kabupaten Garut, yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 415 Jo Pasal 64 Jo Pasal 1 sub c Undang-UndangNomor 24 prp 1960. Meskipun kedua terdakwa tersebut perbuatannya telah memenuhi ketentuan pidana yang terdapat didalam surat dakwaan, tetapi ternyata terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, karena terdapat faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, yaitu berupa: a. Kepentingan umum yang dikerjakan atau dilayani oleh terdakwa, b. Kepentingan pribadi yang tidak diperoleh oleh terdakwa, dan c. Kerugian yang tidak diderita oleh negara atau masyarakat. Terhadap adanya Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965 tersebut, Muladi mengingatkan: :Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966 yang memuat panarapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dengan menggunakan kriteria negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan umum dilayani, tentu saja tidak dapat diterapkan secara umum justru akan mendorong pelaku potensial untuk menggunakannyanya sebagai sarana pembenaran yang menstimulasi berkembangnya tindak pidana korupsi (Lode Van Outrive menyebutkan sebagai legislation as a corrup-tiongenic factor). Dalam putusannya tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kalimat pertama dari penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap perbuatan tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagai alasannya dalam puTUSAN Mahkamah Konstitusi tersebut diberikan pertimbangan hukum yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut: Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 Ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”. Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, dimana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang perorang dalam masyarakat, maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (Wederrechtelifk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik dan norma-norma moral yangberlaku dimasyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 Ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan malawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid).oleh karena itu, apa yang dipatut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat , yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahea apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, didaerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangandengan norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah pula dikuatkan dalam Butir E Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan: a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan; b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan. Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut: 1) Pasal 28D Ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dulu ada; 2) Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. 3) Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijke), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003: 358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitgebot. Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin ditempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang di sampaikan ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dalam persidangan. Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana telah diketahui dalam ajaran atau konsep melawan hukum materiil dikenal adanya 2 (dua) fungsi, yaitu ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan dalam fungsinya yang negatif. Meskipun dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sampai dijelaskan atau disebutkan mana diantara kedua fungsi dari ajaran atau konsep malawan hukum materiil itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kiranya tidak akan ada perbedaan pendapat jika dikatakan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif saja, sedang ajaran atau konsep melawan hukum dalam fungsinya yang negatif tetap masih berlaku. Dengan demikian menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, untukm menafsirkan unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1), tidak boleh lagi mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, tetapi harus mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum formil. Apakah Hakim masih dapat memberikan tafsiran terhadap unsur “melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) adalah melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan terlebih dahulu Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan: “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” yang dalam penjelasannya disebutkan: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan penjelasannya tersebut, menurut hemat penulis dapat saja Hakim memberikan tafsiran terhadap unsur “melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) dengan tafsiran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif jika menurut Hakim tafsiran tersebut akan menghasilkan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Putusan Hakim yang sedemikian ini adalah putusan yang dikehendaki oleh Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yaitu putusan “guna menegakkan hukum dan keadilan”. Yang harus ditegakkan oleh Hakim, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bukan hanya hukum saja, yaitu yang berupa kepastian hukum, tetapi juga keadilan. Antara hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah merupakan dwitunggal yang harus ditegakkan oleh Hakim. Selama Hakim dalam menyusun putusannya memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dengan penjelasannya, selama itu pula Hakim mempunyai dasar hukum untuk menafsirkan unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan ajaran atau konsep melawan hukum dalam fungsinya yang positif, meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa kalimat pertama dari penjelasan Pasal 2 Ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ad. B Dengan memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1), dapat diketahui bahwa unsur “melawan hukum” dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut merupakan sarana untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dengan demikian, sebagai akibat hukum dari perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut, meskipun suatu perbuatan telah “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, tetapi jika dilakukan tidak secara melawan hukum, perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). Andi Hamzah memberikan contoh tentang seseorang yang aktif melakukan tugas memberantas penyeludupan. Menurut peraturan ia akan mendapat premi yang cukup besar persentasenya dari volume barang yang diseludupkan. Oleh karenanya, orang ini telah memperkaya diri dengan menerima banyak premi yang dengan sendirinya telah merugikan keuangan negara langsung atau tidak langsung yang dibayarkan dari kas negara. Yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini sudah tentu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya: menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dengan syarat tentunya dilakukan secara melawan hukum, jika akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). Senada dengan maksud unsur “memperkaya” seperti di atas adalah pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 Nomor 18/Pid/B/1992/PN/TNG yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. Adalah menarik untuk dikemukakan pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 April 1988 Nomor 144/Pid.B/1987 yang menyebutkan bahwa hasil tindak pidana korupsi yang dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi berkeliling ke Eropa adalah memenuhi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”. Sebagai contoh dari dipenuhinya unsur “memperkaya suatu korporasi” adalahb seperti yang terdapat didalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 januari 1989 Nomor 241 K/Pid/1987, yaitu hasil tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan membeli tanah dan membangun kantor KUD. Bagaimana jika hasil tindak pidana korupsi tersebutdipergunakan untuk main jadi, apakah masih dapat dikulifikasikan sebagai “memperkaya diri sendiri”? Menurut hemat penulis, perbuatan tersebut masih dapat dikualifikasikan sebagai “memperkaya diri sendiri”, karena pada saat setelah terdakwa selesai melakukan perbuatannya terdakwa memang bertambah kaya, yaitu bertambah harta kekayaannya dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Bahwa kemudian hasil tindak pidana korupsi oleh terdakwa dipergunakan untuk main judi, hal tersebut merupakan masalah lain, yaitu masalah penggunaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak merupakan unsur dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1). Yang jelas adalah terdakwa pernah bertambah kaya dari hasil tindak pidana korupsi sebelum terdakwa menggunakan hasil tindak pidana korupsi tersebut untuk main judi. ad. C yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Adapun apa yang dimaksud dengan “keuangan negara”, didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan. Didalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sabagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan “perekonomian negara” seperti yang disebutkan didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya, sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” didalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1). Dengan demikian, untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan “keuangan negara” tidak terlalu sulit, karena apa yang dimaksud dengan “keuangan negara” pengertiannya sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur “merugikan perekonomian negara” sangat sulit. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak begitu banyak atau langka adanya putusan Pengadilan yang didalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur “merugikan perekonomian negara”. Salah satu putusan pengadilan yang didalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur “merugikan perekonomian negara” adalah Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 31 Oktober 1986 Nomor 1164K/Pid/1985 dengan terdakwa Tony Gozal alias Go Tiong Kien, Direktur CV Cipta Nusa yang pertimbangan hukumnya antara lain berbunyi sebagai berikut. “Bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun di atasnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan pelabuhan Ujung Pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum.” “Bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik negara, sehingga penggunaan daripadanya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian negara.” Terhadap pertimbangan hukum tersebut, H. Baharuddin Lopa-Moh. Yamin telah menarik kesimpulan bahwa timbulnya kerugian perekonomian negara karena terdakwa telah melanggar ketentuan perizinan mengenai penggunaan wilayah perairan dan objek perbuatan terdakwa menyangkut suatu milik negara yang oleh negara dimanfaatkan untuk melayani kepentingan umum dalam bidang perekonomian. Apa yang dimaksudkan dengan “merugikan perekonomian negara” seperti yang terdapat didalam pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, kiranya dapat dipedomani untuk penerapan ketentuan tentang tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1), meskipun harus diakui putusan Mahkamah Agung RI tersebut dijatuhkan pada waktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 yang penjelasannya mengenai apa yang dimaksud dengan “perekonomian negara” tidak dirumuskan atau disusun seperti yang terdapat didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 4. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) adalah berupa pidana sebagai berikut: a. Pidana penjara seumur hidup; ATAU b. Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; DAN c. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00- (satu miliar rupiah). 5A. Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah perubahan penjelasan Pasal 2 Ayat (2). Sesudah diadakan perubahan, penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 Ayat (2) adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila: a) Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi: a.1. penanggulangan keadaan bahaya a.2. bencana alam nasional a.3. penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas a.4. penanggulangan krisis ekonomi dan moneter b) Pengulangan tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “keadaan bahaya” dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) sudah tentu keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp tahun 1960 tentang Keadaan Bahaya. Kapan terjadi keadaan bencana alam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi dan moneter seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) tersebut, sampai saat sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyatakan adanya keadaan tersebut. Atas dasar Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, menurut hemat penulis sudah cukup dengan dikeluarkannya keputusan Presiden RI yang menyatakan telah terjadi bencana alam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi dan moneter. Apa yang dimaksud dengan “pengulangan” dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2), menurut hemat penulis adalah sama artinya dengan apa yang dimaksud dengan recidive dalamm ilmu hukum pidana. Namun, tenggang waktu selama 5 (lima) tahun seperti yang ditentukan dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP tidak berlaku untuk pengulangan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1). 5B. “Keadaan tertentu” dengan perincian seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) tersebut merupakan pemberatan pidana yang hanya dapat dijatuhkan khusus kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). Oleh karena merupakan pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan, maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui adanya “keadaan tertentu” dengan perincian seperti tersebut di atas pada waktu melakukan tindak pidana korupsi. Pemberatan pidana berupa pidana mati dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1), jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2). Berhubung yang dipergunakan adalah kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya, meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (2), terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dapat saja tidak dijatuhi pidana mati.

Selasa, 13 Januari 2015

SIAPA YANG PALING PERAMPOK ???

Sewaktu perampokan di Guangzhou, China, perampok bank berteriak kesemua orang di bank: "Jangan Bergerak. Uang ini Milik Negara, Hidupmu milikmu." Semua orang di bank menunduk dengan tenang. Ini yang disebut "Konsep Merubah Pikiran" Merubah cara berpikir yang konvensional. Ketika seorang wanita berbaring di meja secara profokatif, perampok berteriak padanya "Beradablah, Ini perampokan, bukan pemerkosaan!" Ini yang disebut "Professional" fokus hanya kepada apa yang kamu dilatih untuk.. Ketika Perampok kembali kerumah, perampok yang lebih muda (lulusan s2) berkata kepada perampok yang tua (lulusan sd): "Bang, ayo kita hitung berapa yang kita dapat." Perampok yang lebih tua bilang "Bego banget lo. Duitnya banyak gitu lama pasti ngitungnya. Malem ini lihat aja di TV bakal bilang berapa yang kita rampok dari bank!" Ini yang disebut "Pengalaman." Sekarang pengalaman lebih penting dari gelar..! Setelah perampok pergi, manajer bank bilang pada supervisor bank untuk menelpon polisi secepatnya. Tetapi supervisor berkata: "Tunggu! Ayo kita ambil $10juta dollar dari bank untuk kita dan tambahkan ke $70juta dollar yang sudah diambil dari bank". Ini yang disebut "Sambil Berenang Minum Air." Merubah keadaan tak baik menjadi keuntungan anda! Supervisor berkata: " Akan sangat bagus bila ada perampokan setiap bulan." Ini yang disebut "Membunuh Kebosanan" Kebahagiaan personal lebih penting dari pekerjaan anda. Keesokan harinya, Berita TV melaporkan bahwa $100juta telah dicuri dari bank. Perampok menghitung dan menghitung, tetapi mereka hanya dapat $20juta dollar. Perampok sangat marah dan komplain "Kita meresikokan hidup kita dan hanya dapat $20juta dollar. Pekerja Bank mengambil $80juta dollar dengan santai. Sepertinya mendingan menjadi teredukasi daripada perampok!" Ini yang disebut "Pengetahuan bernilai lebih banyak dari emas" Manajer bank tersenyum dan bahagia karena kekalahan di main saham dapat di bayarkan oleh perampokan yang terjadi. Ini yang disebut "Mengambil kesempatan." Berani mengambil resiko! Jadi siapakah pencuri Sejati dan lebih professional disini?

BELAJAR HUKUM: SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

BELAJAR HUKUM: SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

2.1. Sejarah Demokrasi di Indonesia Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy). Bahwa untuk mencapai demokrasi yang ideal, setidaknya harus terpenuhi lima hal. Pertama, dalam membuat keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat, hak istimewa setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara seimbang dalam menentukan keputusan terakhir. Kedua, dalam seluruh proses pembuatan keputusan secara kolektif, maka setiap warga negara harus mempunyai kesempatan sama untuk menyatakan hak-hak politiknya. Ketiga, adanya pembeberan kebenaran. Di sini setiap warga negara harus mempunyai peluang yang sama melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang diinginkan. Penetapan paham demokrasi sebagai tatanan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebahagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropah Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II. Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya. Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959. Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara. Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila. Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan krisis disegala aspeknya. Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru. Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru. Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai Demokrasi Reformasi, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi. 2.2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi yang pernah ada di Indonesiai ini. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periodesasi antara lain : 1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ). Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan : • Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif. • Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik. • Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer 2. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama a. Masa Demokrasi Liberal 1950 - 1959 Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik. Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan : • Dominannya partai politik • Landasan sosial ekonomi yang masih lemah • Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950 Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 : • Bubarkan konstituante • Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950 • Pembentukan MPRS dan DPAS b. Masa Demokrasi Terpimpin 1959 – 1966 Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan NASAKOM dengan ciri: 1. Dominasi Presiden 2. Terbatasnya peran partai politik 3. Berkembangnya pengaruh PKI Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain: 1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan 2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR 3. Jaminan HAM lemah 4. Terjadi sentralisasi kekuasaan 5. Terbatasnya peranan pers 6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur) Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda akhir dari pemerintahan Orde Lama. 3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 – 1998 Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab: 1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada 2. Rekrutmen politik yang tertutup 3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis 4. Pengakuan HAM yang terbatas 5. Tumbuhnya KKN yang merajalela Sebab jatuhnya Orde Baru: 1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi ) 2. Terjadinya krisis politik 3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba 4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden. 4. Pelaksanaan Demokrasi Reformasi {1998 - Sekarang). Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain: 1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi 2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum 3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN 4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI 5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah tiga kali yaitu tahun 1999, tahun 2004 dan 2009. 2.3 Perbedaan – Perbedaan Demokrasi 1. Berkenaan dengan Kedaulatan Rakyat. a. Demokrasi Liberal. Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR (Parlemen). Dan DPR membentuk serta memberhentikan Pemerintah/Eksekutif (Kabinet). b. Demokrasi Terpimpin. Meskipun secara normatif konstitusional ditetapkan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis justru kedaulatan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Dan Presiden membentuk MPR(S) dan DPR-GR berdasarkan Keputusan Presiden c. Demokrasi Pancasila (Orba). Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), baru kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK dan sebagainya). d. Demokrasi Reformasi. Kedaulatan Rakyat sepenuhnya tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat secara langsung membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dsb.) 2. Berkenaan dengan Pembagian Kekuasaan a. Demokrasi Liberal : Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat dibandingkan dengan kekuasaan Pemerintah/Kabinet (Eksekutif), bahkan DPR dapat memberhentikan Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara saja (Simbol Negara saja). b. Demokrasi Terpimpin : Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan Presiden dapat membubarkan DPR serta mengangkat anggota-anggota DPR (GR). Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa seumur hidup, sehingga tidak bisa diberhentikan oleh MPRS. c. Demokrasi Pancasila (Orba). Meskipun secara normatif konstitusional, ditetapkan : 1. Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun Kepala Negara lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif). 2. Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara, maka kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang) lebih kuat dibanding-kan kekuasaan DPR (Legislatif). Namun secara praktis Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), sebagai akibat adanya : 1. Campur tangan Pemerintah didalam kehidupan kepartaian. 2. Dominasi Pemerintah didalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota Legislatif (termasuk menyeleksi calon-calon Legislatif dari partai peserta pemilu). 3. Kewenangan Presiden didalam pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Golongan yang jumlahnya cukup besar. d. Demokrasi Reformasi : Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun Kepala Negara jauh berkurang karena harus dibagi kepada DPR (Legislatif), Kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang termasuk UU-APBN) lebih lemah dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif). Bahkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR dapat berlaku meskipun tidak disetujui dan tidak diundangkan oleh Presiden/Pemerintah, Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) menjadi semakin berkurang dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah, Berkenaan dengan Mekanisme Pengambilan Keputusan 2.4 Pemilihan Umum Sebagai Pelaksanaan Demokrasi a. Pengertian Pemilihan Umum Salah satu ciri Negara demokratis adalah “rule of law” dimana terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah. Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat. Prmilihan umum memiliki arti penting sebagai berikut : a. Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative b. Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu c. Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif. b. Tujuan Pemilihan Umum Pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah 1. Melaksanakan kedaulatan rakyat 2. Sebagai perwujudan hak asas politik rakyat 3. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta memilih Presiden dan wakil Presiden. 4. Melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara aman, damai, dan tertib 5. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional Menurut Ramlan Surbakti, kegiatan pemilihan umum berkedudukan sabagai : 1. Mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif kebijakan umum 2. Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembagag-lembaga perwakilan melalui wakil rakyat yang terpilih, sehingga integrasi masyarakat tetap terjaga. 3. Sarana untuk memobilisasikan dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Dapat dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi. Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stevan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika : tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih, jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas, jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru dan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain. Sementara itu dalam perspektif Larry Diamond, konsolidasi demokrasi mencakup pencapaian tiga agenda besar, yakni : kinerja atau performance ekonomi dan politik dari rezim demokratis, institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum), restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di lain pihak.

Senin, 12 Januari 2015

..Curup...Di sela-sela kesibukan Kerja, mengisi waktu dengan menjadi seorang manager tim futsal merupakan tantangan yang menarik, pertandingan perdana melawan Platinum Fc di Gor Stadium Rejang Lebong 11 Januari 2015 berhasil menang 10-2 Tournament P3T Rejang Lebong Cup II semoga menang truz ampe Final

Senin, 05 Januari 2015

http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2014/07/26/kejari-curup-klaim-suluk-tak-bermasalah/

CURUP – Kejaksaan Negeri (Kejari) Curup secara gamblang menegaskan status kelompok kegiatan dzikir atau Suluk Naqsabandiyah di Desa Suka Datang Kecamatan Curup Utara, tidak bermasalah. Ini menyusil hasil Giat Pengumpulan Bahan Keterangan (Pulbaket) dan Pengumpulan Data (Puldata) oleh intelijen Kejari Curup yang dikemas dalam Operasi Intelijen Yustisial Kejaksaan. Kajari Curup, Eko Hening Wardono, SH melalui Ketua Tim Ops Intelijen Yustisial, Rusydi Sastrawan, MH mengatakan, hal ini diungkapkan untuk menepis tanggapan atau isu negatif sebagian masyarakat terhadap keberadaan kelompok tersebut. “Menanggapi isu negatif yang berkembang selama ini di masyarakat tentang aliran Suluk. Berdasarkan hasil Puldata dan Pulbaket kami merujuk surat Kemenag RL kepada bupati RL No: Kd.07.03/6/BA.00/2198/2011, tanggal 30 September 2011, perihal rekomendasi tim pengkajian Tarekat Naqsabandiyah Kabupaten Rejang Lebong. Pertama disebutkan Tareqat Naqsabandiyah ajarannya tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadist (sumber pokok ajaran Islam),” tegas Rusydi. Namun ditambahkan Rusydi, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan ibadah seperti pelaksanaan Salat Fardhu 5 waktu hendaklah dilaksanakan tepat pada waktunya dan diutamakan secara berjamaah serta jangan diganti dengan zikir. Begitu halnya dengan Salat Tarawih meskipun hukumnya sunat muakad, agar tetap dilaksanakan pada Bulan Ramadhan dan jangan diabaikan. “Kami tim ops berpendapat sebelum adanya kajian teknis terbaru mengenai kegiatan pengajian suluk tersebut maka kita tetap berpedoman pada surat rekomendasi tersebut,” ujar Rusydi. Sementara hasil operasi intelijen yustisial kejaksaan dalam melakukan penggalangan terkait kegiatan suluk Tareqat Naqsabandiyah di Desa Suka Datang Kecamatan Curup Utara, kegiatan berlangsung dengan aman dan terkendali. “Baru tahun ini tidak ada korban meninggal dunia saat mengikuti kegiatan suluk tersebut. Ini merupakan hasil operasi intelijen. Kami mencegah atau mendeteksi dini segala bentuk ancaman, gangguan hambatan n tantangan kerukunan umat beragama di Rejang Lebong karena adanya kegiatan pengajian tersebut. Alhmdlh yang menjadi pusat perhatian masyarakat dengan adanya korban dari pihak peserta suluk yang meninggal dunia tiap tahun namun tahun ini bisa diatasi,” demikian Rusydi. Data diperoleh, kegiatan suluk terdiri dari 2 gelombang. Gelombang pertama jumlah peserta 648 orang. Sebanyak 638 orang dinyatakan berhasil atau lulus. Sedangkan 10 orang tidak lulus karena dipulangkan akibat sakit. Kemudian gelombang kedua, jumlah peserta 182 peserta dan tidak lulus karena sakit sebanyak 2 orang.(cuy)

Posisi terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia

        Pelanggaran terhadap Tersangka/Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai negara jajahannya. Bahkan hingga kini setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata) yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Civil Law, yaitu mengutamakan kodifikasi hukum dan Undang-undang/hukum tertulis sebagai sumber hukum utama untuk menjamin asas legalitas dan kepastian hukum.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan dalam pembuatan BAP.
Namun praktek seiring dengan perjalanan waktu dilihat dari bentuknya, pelanggaran terhadap hak asasi tersangka/terdakwa dalam sistem peradilan pidana kita yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP dalam penerapannya dan sistem peradilan di Indonesia dapat dikatagorikan sebagai berikut : [1]
1. Pelanggaran administrative dan prosedural dalam penyelidikan dan penyidikan yaitu dapat dilihat dalam bentuk kasus yang relatif ringan hingga kasus yang berat. Beberapa pelanggaran dari administrative dan prosedural dimana hak-hak tersangka atau saksi diabaikan secara sengaja seperti :
-          Penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum
-          Pemanggilan tersangka tidak memperhatikan tenggang waktu,
-          Jangka waktu penahan ditingkat penyidikan diterapkan maksimal padahal tersangka hanya diperiksa beberapa kali,
-          Hak tersangka untuk mengajukan saksi A_de charge,
-          Pemeriksaan saksi dilarang didampingi penasehat hukum,
-          Pemaksaan penarikan kuasa penasehat hukum,
-          Penyidik memberikan keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah,
-          Penyidik tidak memberitahukan nama pelapor,
-          Berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka/terdakwa maupun penasehat hukum,
-          Tidak berfungsinya lembaga jaminan penaguhan penahanan
Pelanggaran terhadap keamanan kebebasan jiwa raga dan harta benda, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap beberapa ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP, dapat dicontohkan bahwa KUHAP tidak menyediakan jalan keluar apakah suatu pengakuan yang diperoleh dengan cara menyiksa, tanpa bukti pendukung lainnya dapat tetap diajukan sebagai barang bukti dalam persidangan. Hal ini karena penilaian hakim akan materi alat bukti tersebut dan tidak menilai presedur perolehan alat bukti tersebut.
KUHAP juga tidak memberikan upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang disiksa untuk mengadukan penyiksaan yang diterimanya tersebut padahal penyiksaan itu merupakan ancaman terhadap nyawa seseorang kalaupun tersangka tidak meninggal dunia dan bebas , pengalaman penyiksaan tersebut akan menjadi pengalaman yang dapt mempengaruhi kepada psikis seseorang.
Dalam pasal 14 ayat 3 huruf G ICCPR menjamin hak seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya. Pada saat ini di Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dengan demikian hukum di Indonesia telah memiliki dasar hukum bagi tersangka atau terdakwa untuk mengadukan penyiksaan yang dilakukan pada saat pemeriksaan.
2.      Penyimpangan Presedur di tingkat Penuntutan dan Pengadilan
Beberapa masalah yang ditimbulkan system peradilan saat ini terutama mengenai penerapan prinsip equality before the law, dimana disatu sisi system peradilan pidana menetapkan kedudukan antar lembaga-lembaga anggota system peradilan pidana berada dalam kedudukan yang setara tetapi kesetaraan ini tidaka tampak dalam praktek persidangan. Berbagai penyimpangan yang terjadi di pengadilan menunjukan system peradilan yang tidak baik dicontohkan permintaan untuk memperoleh berkas perkara tidak mudah dilakukan, akibatnya keterangan seorang sanksi dapat menghasil berbagai versi berita acara.
Dalam kasus lain misalkan panitra bekerja sama dengan penasehat hukum meminta salinan keterangan saksi sesuai dengan catatan dan keinginan penasehat hukum,dengan demikian berita acara tersebut akan menguntungkan pihak terdakwa.
Kejaksaan adalah lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang untuk menjalankan tindakan penuntut umum diatur didalam bab II bagian ketiga pasal 13 sampai pasal 15 serta bab XV pasal 137 sampai pasal 144 KUHAP. Sekalipun tidak lagi diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan sejak diberlakukanya KUHAP penyimpangan prosedur dengan tujuan yang tidak halal dalam praktek masih banyak terjadi seperti : [2]
a.                   Mengatur agar seorang saksi yang telah dibuat BAP-nya oleh penyidik tidak hadir memberikan kesaksiannya didepan persidangan,
b.                  Memilih terdakwa sekalipun merekayasa sekalipun dengan tujuan agar dakwaan menjadi kabur dan tidak terbukti.
c.                   Menyatakan berkas sudah lengkap tetapi terdakwa tidak pernah diajukan kepengadilan,
d.                  Penekanan terhadap terdakwa oleh penuntut umum

3.  Penyimpangan Presedur di Tingkat Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan pelanggaran HAM di Amirika Serikat dan Inggris, terpidana diberikan hak-hak yang secara jelas dicantumkan dalam ketentuan hukum acaranya atau dalam undang-undang yang mengatur tentang rumah tahanan atau RUTAN. Beberapa ketentuan tersebut sebagai berikut : [3]
a.       Hak untuk mengajukan keberatan
b.      Untuk hadir dalam persidangan
c.       Hak untuk bertindak bertindak sendiri dalam persidangan, artinya petugas LP tidak boleh menghalangi atau membatasi hak-hak tersebut karena hak ini untuk memperoleh peradilan yang berimbang,
d.      Hak untuk memperoleh bantuan hukum, dalam hal terpidana memerlukan bantuan hukum dalam membela hak-haknya maka ia mempunyai hak untuk menghubungi dan menunjuk penasehat hukum.
e.       Hak untuk memperoleh kunjungan dari siapa pun,
f.       Hak untuk tidak memberikan keterangan kepada penyidik dalam kasus lain. Artinya bahwa terdakwa mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan.
g.      Hak untuk menikah dan membentuk keluarga merukan HAM yang tidak boleh dibatasi artinya bahwa seorang terpidana pun masih memiliki hak untuk menikah karena merupakan HAM dari si terpidana
h.      Hak untuk memperoleh data-data pendukung mengenai diri terpidana yang dimiliki oleh LP, khususnya dalam hal terpidana mengajukan upaya hukum,
i.        Hak untuk kesehatan dan akses terhadap data rekam medis terpidana.
Secara internasional, perlindungan terhadap hak-hak seorang terpidana telah diatur dalam standard minimum rules for the treatment of prisioners”. Di Indonesia KUHAP dan peraturan pelaksanaan juga memberikan perlibdungan terhadap terpidana, antara lain ialah mendapat bantuan hukum, hak menghubungi dan mendapatkan kunjungan dokter pribadi, hak mendapatkan kunjungan keluarga.
4.  Penyimpangan yang dilakukan Oleh Advokat atau Penasehat Hukum.
Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokad mengukuhkan keberadaan advokad sebagai penasehat hukum dan sebagai salah satu sub System Peradilan Pidana Indonesia sebagai penegak hukum advokat memiliki tugas untuk menegakan hukum dan keadilan bersama dengan apsrat penegak hukum lainnya selain itu berfungsi sebagai penjaga hak asasi manusia tersangka terdakwa.
Mengenai hubungan advokat dengan kliennya diatur dalam bab III kode etik advokat dimana menyatakan : Advokad tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan kliennnya mengenai perkara yang sedang di urusnya. Kemudian advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu

Upaya Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana.[4]
Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut [5]. Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Lembaga peradilan merupakan lembaga yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan. Pra peradilan merupakan alat kontrol bagi penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum, dalam KUHAP Praperadilan diatur dalam Pasal 77 dimana Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a.             Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.            Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 80), Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81). Tetapi dalam prakteknya ternyata bahwa putusan hakim praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir. Dalam KUHAP, prapradilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana Indonesia sehingga dalam pratek masih banyak kelemahan antara lain :
-    Tidak semua unsur paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk di ujikan dan dinilai kebenarannya dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan
-    Praperadilan tidak berwenang untuk menguji atau menilai sesuatu tindakan tanpa permintaan dari tersangka
-    Putusan praperadilannya hanya berupa penetapan sehingga seringkali diabaikan oleh penegak hukum, khususnya jaksa dalam perkara dimana jaksa lah yang melakuakan penyidikan.
Secara umum Sistem Peradilan Pidana (SPP) bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah melakukan kejahatan. Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakuakan oleh aparat penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggungjawab berdasarkan peraturan yang berlaku dimana tindakan ini dapat menguragi dan membatasi hak asasi sesorang.
Sebagaimana KUHAP, menempatkan tersangka dalam posisi his entity dan dignity as ahuman being yang harus diberlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, HAM yang melekat pada diri manusia tidak boleh dikurangi hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum
b.      Praduga tak bersalah
c.       Hak mempersiapkan pembelaan secara dini
d.      Penangkapan atau penahanan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup.

UU Nomor 8 tahun 1981 tentang  Hukum Acara Pidana menjelaskan bab khusus tentang Tersangka dan terdakwa dimana terdapat dalam Bab VI, dimana berisi tentang hak-hak bagi Tersangka/Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang terdapat dalam pasal 50-68 yaitu :

1.      Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2.      Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
3.      Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
4.      Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
5.      Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
6.      Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
7.      Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
8.      Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
9.      Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
10.  Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
11.  Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
12.  Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
13.  Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
14.  Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
15.  Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
16.  Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
17.  Terdakwa berhak untuk diadi!i di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
18.  Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
19.  Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
20.  Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
21.  Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita (Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan.

Mengantisipasi agar hak-hak tersangka/terdakwa yang terdapat dalam KUHAP disalahgunakan atau tidak dipenuhinya suatu hak tertentu bagi tersangka/terdakwa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan ketidaktahuan aparat penegak hukum serta masyarakat pada umumnya, maka perlu adanya suatu wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut baik melalui media massa dan program-program penyuluhan yang dilaksanakan oleh instansi penegak Hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.





[1] http://www.google.com//sistem peradilan pidana//desember 2009.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] (Oemar Seno Adji, 1985: 31).

[5] (Loebby Loqman, 1990: 10).