Pelanggaran terhadap Tersangka/Terdakwa
dalam Sistem Peradilan Pidana
Perkembangan sistem hukum di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum Civil Law atau sistem Eropa
Kontinental. Hal ini disebabkan karena Indonesia terlalu lama dijajah oleh
Belanda yang kemudian menerapkan sistem hukum Eropa dengan asas konkordansi di
Hindia Belanda sebagai negara jajahannya. Bahkan hingga kini setelah lebih dari
setengah abad Indonesia merdeka, masih banyak ketentuan hukum peninggalan
Belanda yang masih digunakan sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum
Acara Perdata) yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Civil Law, yaitu
mengutamakan kodifikasi hukum dan Undang-undang/hukum tertulis sebagai sumber
hukum utama untuk menjamin asas legalitas dan kepastian hukum.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya
dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP
tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita
acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud
karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan
dalam pembuatan BAP.
Namun praktek seiring dengan perjalanan
waktu dilihat dari bentuknya, pelanggaran terhadap hak asasi tersangka/terdakwa
dalam sistem peradilan pidana kita yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP dalam
penerapannya dan sistem peradilan di Indonesia dapat dikatagorikan sebagai
berikut : [1]
1. Pelanggaran administrative
dan prosedural dalam penyelidikan dan penyidikan yaitu dapat dilihat dalam
bentuk kasus yang relatif ringan hingga kasus yang berat. Beberapa
pelanggaran dari administrative dan prosedural dimana hak-hak tersangka atau
saksi diabaikan secara sengaja seperti :
-
Penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk
didampingi penasehat hukum
-
Pemanggilan tersangka tidak memperhatikan tenggang
waktu,
-
Jangka waktu penahan ditingkat penyidikan diterapkan
maksimal padahal tersangka hanya diperiksa beberapa kali,
-
Hak tersangka untuk mengajukan saksi A_de charge,
-
Pemeriksaan saksi dilarang didampingi penasehat hukum,
-
Pemaksaan
penarikan kuasa penasehat hukum,
-
Penyidik
memberikan keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah,
-
Penyidik
tidak memberitahukan nama pelapor,
-
Berkas
perkara tidak diberikan kepada tersangka/terdakwa maupun penasehat hukum,
-
Tidak
berfungsinya lembaga jaminan penaguhan penahanan
Pelanggaran terhadap keamanan
kebebasan jiwa raga dan harta benda, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap
beberapa ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP, dapat dicontohkan bahwa KUHAP tidak
menyediakan jalan keluar apakah suatu pengakuan yang diperoleh dengan cara
menyiksa, tanpa bukti pendukung lainnya dapat tetap diajukan sebagai barang
bukti dalam persidangan. Hal ini karena penilaian hakim akan materi alat bukti
tersebut dan tidak menilai presedur perolehan alat bukti tersebut.
KUHAP juga tidak memberikan
upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang disiksa untuk
mengadukan penyiksaan yang diterimanya tersebut padahal penyiksaan itu
merupakan ancaman terhadap nyawa seseorang kalaupun tersangka tidak meninggal
dunia dan bebas , pengalaman penyiksaan tersebut akan menjadi pengalaman yang
dapt mempengaruhi kepada psikis seseorang.
Dalam pasal 14 ayat 3 huruf G
ICCPR menjamin hak seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana untuk tidak
dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya. Pada saat ini di
Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dengan demikian hukum di Indonesia telah
memiliki dasar hukum bagi tersangka atau terdakwa untuk mengadukan penyiksaan yang
dilakukan pada saat pemeriksaan.
2. Penyimpangan Presedur di tingkat
Penuntutan dan Pengadilan
Beberapa masalah yang
ditimbulkan system peradilan saat ini terutama mengenai penerapan prinsip equality
before the law, dimana disatu sisi system peradilan pidana menetapkan
kedudukan antar lembaga-lembaga anggota system peradilan pidana berada dalam
kedudukan yang setara tetapi kesetaraan ini tidaka tampak dalam praktek
persidangan. Berbagai penyimpangan yang terjadi di pengadilan menunjukan system
peradilan yang tidak baik dicontohkan permintaan untuk memperoleh berkas
perkara tidak mudah dilakukan, akibatnya keterangan seorang sanksi dapat
menghasil berbagai versi berita acara.
Dalam kasus lain misalkan
panitra bekerja sama dengan penasehat hukum meminta salinan keterangan saksi
sesuai dengan catatan dan keinginan penasehat hukum,dengan demikian berita
acara tersebut akan menguntungkan pihak terdakwa.
Kejaksaan adalah lembaga yang
ditunjuk oleh undang-undang untuk menjalankan tindakan penuntut umum diatur didalam
bab II bagian ketiga pasal 13 sampai pasal 15 serta bab XV pasal 137 sampai
pasal 144 KUHAP. Sekalipun tidak lagi diberikan wewenang untuk melakukan
penyidikan sejak diberlakukanya KUHAP penyimpangan prosedur dengan tujuan yang
tidak halal dalam praktek masih banyak terjadi seperti : [2]
a.
Mengatur
agar seorang saksi yang telah dibuat BAP-nya oleh penyidik tidak hadir
memberikan kesaksiannya didepan persidangan,
b.
Memilih
terdakwa sekalipun merekayasa sekalipun dengan tujuan agar dakwaan menjadi
kabur dan tidak terbukti.
c.
Menyatakan
berkas sudah lengkap tetapi terdakwa tidak pernah diajukan kepengadilan,
d.
Penekanan
terhadap terdakwa oleh penuntut umum
3. Penyimpangan
Presedur di Tingkat Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk mencegah terjadinya
penyimpangan pelanggaran HAM di Amirika Serikat dan Inggris, terpidana
diberikan hak-hak yang secara jelas dicantumkan dalam ketentuan hukum acaranya
atau dalam undang-undang yang mengatur tentang rumah tahanan atau RUTAN.
Beberapa ketentuan tersebut sebagai berikut : [3]
a. Hak untuk mengajukan keberatan
b. Untuk hadir dalam persidangan
c. Hak untuk bertindak bertindak sendiri
dalam persidangan, artinya petugas LP tidak boleh menghalangi atau membatasi
hak-hak tersebut karena hak ini untuk memperoleh peradilan yang berimbang,
d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum, dalam
hal terpidana memerlukan bantuan hukum dalam membela hak-haknya maka ia
mempunyai hak untuk menghubungi dan menunjuk penasehat hukum.
e. Hak untuk memperoleh kunjungan dari siapa
pun,
f. Hak untuk tidak memberikan keterangan
kepada penyidik dalam kasus lain. Artinya bahwa terdakwa mempunyai hak untuk
menolak memberikan keterangan.
g. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga
merukan HAM yang tidak boleh dibatasi artinya bahwa seorang terpidana pun masih
memiliki hak untuk menikah karena merupakan HAM dari si terpidana
h. Hak untuk memperoleh data-data pendukung
mengenai diri terpidana yang dimiliki oleh LP, khususnya dalam hal terpidana
mengajukan upaya hukum,
i.
Hak
untuk kesehatan dan akses terhadap data rekam medis terpidana.
Secara internasional,
perlindungan terhadap hak-hak seorang terpidana telah diatur dalam standard
minimum rules for the treatment of prisioners”. Di Indonesia KUHAP dan
peraturan pelaksanaan juga memberikan perlibdungan terhadap terpidana, antara
lain ialah mendapat bantuan hukum, hak menghubungi dan mendapatkan kunjungan
dokter pribadi, hak mendapatkan kunjungan keluarga.
4. Penyimpangan yang dilakukan Oleh Advokat atau
Penasehat Hukum.
Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003
tentang advokad mengukuhkan keberadaan advokad sebagai penasehat hukum dan
sebagai salah satu sub System Peradilan Pidana Indonesia sebagai penegak hukum
advokat memiliki tugas untuk menegakan hukum dan keadilan bersama dengan apsrat
penegak hukum lainnya selain itu berfungsi sebagai penjaga hak asasi manusia
tersangka terdakwa.
Mengenai hubungan advokat
dengan kliennya diatur dalam bab III kode etik advokat dimana menyatakan : Advokad
tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan kliennnya
mengenai perkara yang sedang di urusnya. Kemudian advokat tidak dibenarkan
membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu
Upaya Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
Pemberian
beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara
pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara
pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti
diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang
bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari
lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana.[4]
Bila dilihat
sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan
bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam
ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut
dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut
diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka
yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi
pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Dalam
menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar dan
sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu
Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut [5]. Begitu pula
dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana,
termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses
penyelesaian perkara pidana.
Bila
diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat
perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam
hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru
diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara
dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka.
Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses
penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti
penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka.
Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena
diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk
mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan
apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem
tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Lembaga peradilan merupakan
lembaga yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak
kemerdekaan. Pra peradilan merupakan alat kontrol bagi penegak hukum khususnya
penyidik dan penuntut umum, dalam KUHAP Praperadilan diatur dalam Pasal 77 dimana
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a.
Sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
b.
Ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Permintaan untuk memeriksa sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 80), Permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebut alasannya (Pasal 81). Tetapi dalam prakteknya ternyata bahwa
putusan hakim praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir. Dalam
KUHAP, prapradilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana Indonesia
sehingga dalam pratek masih banyak kelemahan antara lain :
- Tidak semua unsur paksa dapat dimintakan
pemeriksaan untuk di ujikan dan dinilai kebenarannya dan ketepatannya oleh
lembaga praperadilan
- Praperadilan tidak berwenang untuk menguji
atau menilai sesuatu tindakan tanpa permintaan dari tersangka
- Putusan praperadilannya hanya berupa
penetapan sehingga seringkali diabaikan oleh penegak hukum, khususnya jaksa
dalam perkara dimana jaksa lah yang melakuakan penyidikan.
Secara umum Sistem Peradilan
Pidana (SPP) bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah melakukan
kejahatan. Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakuakan oleh aparat
penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggungjawab berdasarkan peraturan yang
berlaku dimana tindakan ini dapat menguragi dan membatasi hak asasi sesorang.
Sebagaimana KUHAP, menempatkan
tersangka dalam posisi his entity dan dignity as ahuman being yang harus
diberlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakan
hukum, HAM yang melekat pada diri manusia tidak boleh dikurangi hak-hak
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Persamaan hak dan kedudukan serta
kewajiban dihadapan hukum
b. Praduga tak bersalah
c. Hak mempersiapkan pembelaan secara dini
d. Penangkapan atau penahanan harus
didasarkan bukti permulaan yang cukup.
UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjelaskan bab khusus
tentang Tersangka dan terdakwa dimana terdapat dalam Bab VI, dimana berisi
tentang hak-hak bagi Tersangka/Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia yang terdapat dalam pasal 50-68 yaitu :
1. Tersangka berhak segera mendapat
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2. Tersangka berhak perkaranya segera
dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
3. Terdakwa berhak segera diadili oleh
pengadilan.
4. Tersangka berhak untuk diberitahukan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan
kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
5. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan
jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan
kepadanya.
6. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan
dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim.
7. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
8. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka
atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu
yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
9. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
10. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun
tidak.
11. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang
berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun
orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
12. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi
dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau
lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi
penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
13. Tersangka atau terdakwa berhak secara
langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan
kekeluargaan.
14. Tersangka
atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima
surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis
menulis.
15. Surat
menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa
surat menyurat itu disalahgunakan.
16. Tersangka
atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
17. Terdakwa
berhak untuk diadi!i di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
18. Tersangka
atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang
yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya.
19. Tersangka
atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
20. Terdakwa
atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan
pengadilan dalam acara cepat.
21. Tersangka
atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Proses penegakan hukum pidana di Indonesia
mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM
terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses
penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir
dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara
Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak
berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para
aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita
(Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan.
Mengantisipasi agar hak-hak tersangka/terdakwa
yang terdapat dalam KUHAP disalahgunakan atau tidak dipenuhinya suatu hak
tertentu bagi tersangka/terdakwa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
dan ketidaktahuan aparat penegak hukum serta masyarakat pada umumnya, maka perlu
adanya suatu wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut baik
melalui media massa dan program-program penyuluhan yang dilaksanakan oleh
instansi penegak Hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta
Lembaga Pemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar