Senin, 05 Januari 2015

Posisi terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia

        Pelanggaran terhadap Tersangka/Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai negara jajahannya. Bahkan hingga kini setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata) yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Civil Law, yaitu mengutamakan kodifikasi hukum dan Undang-undang/hukum tertulis sebagai sumber hukum utama untuk menjamin asas legalitas dan kepastian hukum.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan dalam pembuatan BAP.
Namun praktek seiring dengan perjalanan waktu dilihat dari bentuknya, pelanggaran terhadap hak asasi tersangka/terdakwa dalam sistem peradilan pidana kita yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP dalam penerapannya dan sistem peradilan di Indonesia dapat dikatagorikan sebagai berikut : [1]
1. Pelanggaran administrative dan prosedural dalam penyelidikan dan penyidikan yaitu dapat dilihat dalam bentuk kasus yang relatif ringan hingga kasus yang berat. Beberapa pelanggaran dari administrative dan prosedural dimana hak-hak tersangka atau saksi diabaikan secara sengaja seperti :
-          Penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum
-          Pemanggilan tersangka tidak memperhatikan tenggang waktu,
-          Jangka waktu penahan ditingkat penyidikan diterapkan maksimal padahal tersangka hanya diperiksa beberapa kali,
-          Hak tersangka untuk mengajukan saksi A_de charge,
-          Pemeriksaan saksi dilarang didampingi penasehat hukum,
-          Pemaksaan penarikan kuasa penasehat hukum,
-          Penyidik memberikan keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah,
-          Penyidik tidak memberitahukan nama pelapor,
-          Berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka/terdakwa maupun penasehat hukum,
-          Tidak berfungsinya lembaga jaminan penaguhan penahanan
Pelanggaran terhadap keamanan kebebasan jiwa raga dan harta benda, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap beberapa ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP, dapat dicontohkan bahwa KUHAP tidak menyediakan jalan keluar apakah suatu pengakuan yang diperoleh dengan cara menyiksa, tanpa bukti pendukung lainnya dapat tetap diajukan sebagai barang bukti dalam persidangan. Hal ini karena penilaian hakim akan materi alat bukti tersebut dan tidak menilai presedur perolehan alat bukti tersebut.
KUHAP juga tidak memberikan upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang disiksa untuk mengadukan penyiksaan yang diterimanya tersebut padahal penyiksaan itu merupakan ancaman terhadap nyawa seseorang kalaupun tersangka tidak meninggal dunia dan bebas , pengalaman penyiksaan tersebut akan menjadi pengalaman yang dapt mempengaruhi kepada psikis seseorang.
Dalam pasal 14 ayat 3 huruf G ICCPR menjamin hak seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya. Pada saat ini di Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dengan demikian hukum di Indonesia telah memiliki dasar hukum bagi tersangka atau terdakwa untuk mengadukan penyiksaan yang dilakukan pada saat pemeriksaan.
2.      Penyimpangan Presedur di tingkat Penuntutan dan Pengadilan
Beberapa masalah yang ditimbulkan system peradilan saat ini terutama mengenai penerapan prinsip equality before the law, dimana disatu sisi system peradilan pidana menetapkan kedudukan antar lembaga-lembaga anggota system peradilan pidana berada dalam kedudukan yang setara tetapi kesetaraan ini tidaka tampak dalam praktek persidangan. Berbagai penyimpangan yang terjadi di pengadilan menunjukan system peradilan yang tidak baik dicontohkan permintaan untuk memperoleh berkas perkara tidak mudah dilakukan, akibatnya keterangan seorang sanksi dapat menghasil berbagai versi berita acara.
Dalam kasus lain misalkan panitra bekerja sama dengan penasehat hukum meminta salinan keterangan saksi sesuai dengan catatan dan keinginan penasehat hukum,dengan demikian berita acara tersebut akan menguntungkan pihak terdakwa.
Kejaksaan adalah lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang untuk menjalankan tindakan penuntut umum diatur didalam bab II bagian ketiga pasal 13 sampai pasal 15 serta bab XV pasal 137 sampai pasal 144 KUHAP. Sekalipun tidak lagi diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan sejak diberlakukanya KUHAP penyimpangan prosedur dengan tujuan yang tidak halal dalam praktek masih banyak terjadi seperti : [2]
a.                   Mengatur agar seorang saksi yang telah dibuat BAP-nya oleh penyidik tidak hadir memberikan kesaksiannya didepan persidangan,
b.                  Memilih terdakwa sekalipun merekayasa sekalipun dengan tujuan agar dakwaan menjadi kabur dan tidak terbukti.
c.                   Menyatakan berkas sudah lengkap tetapi terdakwa tidak pernah diajukan kepengadilan,
d.                  Penekanan terhadap terdakwa oleh penuntut umum

3.  Penyimpangan Presedur di Tingkat Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan pelanggaran HAM di Amirika Serikat dan Inggris, terpidana diberikan hak-hak yang secara jelas dicantumkan dalam ketentuan hukum acaranya atau dalam undang-undang yang mengatur tentang rumah tahanan atau RUTAN. Beberapa ketentuan tersebut sebagai berikut : [3]
a.       Hak untuk mengajukan keberatan
b.      Untuk hadir dalam persidangan
c.       Hak untuk bertindak bertindak sendiri dalam persidangan, artinya petugas LP tidak boleh menghalangi atau membatasi hak-hak tersebut karena hak ini untuk memperoleh peradilan yang berimbang,
d.      Hak untuk memperoleh bantuan hukum, dalam hal terpidana memerlukan bantuan hukum dalam membela hak-haknya maka ia mempunyai hak untuk menghubungi dan menunjuk penasehat hukum.
e.       Hak untuk memperoleh kunjungan dari siapa pun,
f.       Hak untuk tidak memberikan keterangan kepada penyidik dalam kasus lain. Artinya bahwa terdakwa mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan.
g.      Hak untuk menikah dan membentuk keluarga merukan HAM yang tidak boleh dibatasi artinya bahwa seorang terpidana pun masih memiliki hak untuk menikah karena merupakan HAM dari si terpidana
h.      Hak untuk memperoleh data-data pendukung mengenai diri terpidana yang dimiliki oleh LP, khususnya dalam hal terpidana mengajukan upaya hukum,
i.        Hak untuk kesehatan dan akses terhadap data rekam medis terpidana.
Secara internasional, perlindungan terhadap hak-hak seorang terpidana telah diatur dalam standard minimum rules for the treatment of prisioners”. Di Indonesia KUHAP dan peraturan pelaksanaan juga memberikan perlibdungan terhadap terpidana, antara lain ialah mendapat bantuan hukum, hak menghubungi dan mendapatkan kunjungan dokter pribadi, hak mendapatkan kunjungan keluarga.
4.  Penyimpangan yang dilakukan Oleh Advokat atau Penasehat Hukum.
Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokad mengukuhkan keberadaan advokad sebagai penasehat hukum dan sebagai salah satu sub System Peradilan Pidana Indonesia sebagai penegak hukum advokat memiliki tugas untuk menegakan hukum dan keadilan bersama dengan apsrat penegak hukum lainnya selain itu berfungsi sebagai penjaga hak asasi manusia tersangka terdakwa.
Mengenai hubungan advokat dengan kliennya diatur dalam bab III kode etik advokat dimana menyatakan : Advokad tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan kliennnya mengenai perkara yang sedang di urusnya. Kemudian advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu

Upaya Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana.[4]
Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut [5]. Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Lembaga peradilan merupakan lembaga yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan. Pra peradilan merupakan alat kontrol bagi penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum, dalam KUHAP Praperadilan diatur dalam Pasal 77 dimana Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a.             Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.            Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 80), Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81). Tetapi dalam prakteknya ternyata bahwa putusan hakim praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir. Dalam KUHAP, prapradilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana Indonesia sehingga dalam pratek masih banyak kelemahan antara lain :
-    Tidak semua unsur paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk di ujikan dan dinilai kebenarannya dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan
-    Praperadilan tidak berwenang untuk menguji atau menilai sesuatu tindakan tanpa permintaan dari tersangka
-    Putusan praperadilannya hanya berupa penetapan sehingga seringkali diabaikan oleh penegak hukum, khususnya jaksa dalam perkara dimana jaksa lah yang melakuakan penyidikan.
Secara umum Sistem Peradilan Pidana (SPP) bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah melakukan kejahatan. Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakuakan oleh aparat penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggungjawab berdasarkan peraturan yang berlaku dimana tindakan ini dapat menguragi dan membatasi hak asasi sesorang.
Sebagaimana KUHAP, menempatkan tersangka dalam posisi his entity dan dignity as ahuman being yang harus diberlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, HAM yang melekat pada diri manusia tidak boleh dikurangi hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum
b.      Praduga tak bersalah
c.       Hak mempersiapkan pembelaan secara dini
d.      Penangkapan atau penahanan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup.

UU Nomor 8 tahun 1981 tentang  Hukum Acara Pidana menjelaskan bab khusus tentang Tersangka dan terdakwa dimana terdapat dalam Bab VI, dimana berisi tentang hak-hak bagi Tersangka/Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang terdapat dalam pasal 50-68 yaitu :

1.      Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2.      Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
3.      Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
4.      Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
5.      Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
6.      Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
7.      Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
8.      Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
9.      Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
10.  Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
11.  Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
12.  Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
13.  Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
14.  Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
15.  Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
16.  Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
17.  Terdakwa berhak untuk diadi!i di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
18.  Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
19.  Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
20.  Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
21.  Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita (Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan.

Mengantisipasi agar hak-hak tersangka/terdakwa yang terdapat dalam KUHAP disalahgunakan atau tidak dipenuhinya suatu hak tertentu bagi tersangka/terdakwa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan ketidaktahuan aparat penegak hukum serta masyarakat pada umumnya, maka perlu adanya suatu wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut baik melalui media massa dan program-program penyuluhan yang dilaksanakan oleh instansi penegak Hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.





[1] http://www.google.com//sistem peradilan pidana//desember 2009.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] (Oemar Seno Adji, 1985: 31).

[5] (Loebby Loqman, 1990: 10).

Tidak ada komentar: