Kamis, 15 Januari 2015
PAHAMI KORUPSI YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
Sebelum membahas tentang permasalahan diatas ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya isi Pasal yang tercantum didalam UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjadi idola para penyidik baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan didalam melakukan Penyidikan suatu tindak pidana korupsi sehingga kita tidak asal bicara apa itu “KORUPSI”….
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Menurut para akademisi yang memahami Pasal tersebut dengan sudut pandang teori dimana salah satunya adalah pendapat Satochid Kartanegara (Tanapa Tahun : 135-136), delik formil (Delict Met Formeele Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving/delik dengan perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh apabila telah timbulnya akibat yang dilarang.
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Dijelaskan kembali dalam pendapat R. Wiyono didalam bukunya bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan rumusan delik materiil formil pada Pasal 2 tersebut, sanksinya sudah dapat dijatuhkan jika unsur melawan hukumnya telah dipenuhi. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 4 undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus unsur pidananya.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menerangkan: “ Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.”
Bahwa ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat didalam pasal 2 Ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menerangkan: “Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal,ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang di anut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.”
Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalm Pasal 2 Ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara.
Dibandingkan ketentuan tentang tindak pidana korupasi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat didalam Pasal 2 Ayat (1) merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merupakan delik materil, yaitu delik yang dianggap telah terbukti dengan telah ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Pada waktu membahas unsur “dapat menimbulkan suatu kerugian” dari Pasal 263 Ayat (1) KUHP, P.A.F. lamintang dengan mengikuti pendapat dari putusan Hoge Raad tanggal 22 April 2007 dan tanggal 8 Juni 1997, mengemukakan pembentuk undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut.
Dengan berpedoman dengan pada apa yang telah dikemukakan oleh P.A.F. lamintang seperti tersebut diatas, maka agar seorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1), sudah cukup jika terdapat alat-alat buktti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonimian Negara, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tersebut.
Untuk diketahui bahwa pada waktu ada permohonan uji materilterhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan alasan unsur “dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” dalam Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimanadimaksudkan oleh Pasal 28d Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusannya dengan putusan tanggal 22 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
Menimbang bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang disampaikan oleh semua pihak sebagaimana tersebut diatas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, maka persoalan pokok yang harus dijawab adalah:
1) Apakah pengertian kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) bahwa dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil;
2) Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada Butir 1 tersebut di atas, frasa “dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonimian Negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan;
Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan kedepan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut penjelasan Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata “dapat” tersebut sebelum frasa “merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, menunjukkan bahwa tidak pidana korupsi tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan , bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 Ayat (1) sepanjang menyangkut kata “dapat{“ sebelum frasa “merugiakan Keuangan Negara dan Perekonomian negara”.
Menimbang bahwa mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi,terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketetapan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa Kerugian Negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan “akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”. Dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.
Menimbang bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan pemohon. Karena, keberadaan kata “dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana.
Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, huvbungan kata “dapat” dengan “merugikan Keuangan Negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim; (1) nyata-nyata merugikan keuangan Negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang “belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret disekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu Kerugian Negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian Negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh para ahli dalam keuangan Negara, Perekonomian Negara serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Menimbang bahwa adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya Kerugian Negara atau Perekonomian Negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian Negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli dibidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian Negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenannya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma.
Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).
Menimbang bahwa oleh karena kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukan diatas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan.
2. Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) telah ditentukan “setiap orang”.
Dalam Pasal 2 Ayat (1) tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya syarat Pegawai Negeri yang harus menyertai “setiap orang” yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud.
Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 3, menurut hemat penulis pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dapat terdiri atas:
a. Orang perseorangan, dan/atau
b. Korporasi.
3. Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1), akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut:
A. Secara melawan hukum;
B. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
C. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
ad. A
penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil “maupun” dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aapabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu:
a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil.
Roeslan Saleh mengemukakan: “Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekadar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.”
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu:
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum;
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Oleh karena penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.
Apa sebab Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 megikuti ajaran melawan hukum materiil? Oleh penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan agar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.
Sebagai contoh dari penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung RI sewaktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yaitu putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275 K/Pid/1983 dengan terdakwa R. Sonson Natalegawa, Direktur Bank Bumi daya, yang didalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan:
“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat”.
“Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang Pegawai Negeri menerima fasilitas yang berkelebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar Pegawai Negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupkan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat.”
Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas serta dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis.
Oleh Indriyanto Seno Adji dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan alasan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara, dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seseorang (korporasi/badan hukum) dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang.
Sebagai perbandinganantara kedua penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil tersebut, dapat dikemukakan contoh putusan Mahkamah Agung RI mengenai penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif sebagai berikut:
a. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965 dengan terdakwa Machroes Effendi, Patih pada Kantor Bupati/Kepala Derah tingkat I Sambas yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 372 Jo Pasal 52 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
b. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Maret 1977 Nomor 81 K/Kr/1973 dengan terdakwa Ir. Moch Otjo Danaatmadja Bin Danaatmadja, Kepala Kesatuan Pemangkasan Hutan Kabupaten Garut, yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 415 Jo Pasal 64 Jo Pasal 1 sub c Undang-UndangNomor 24 prp 1960.
Meskipun kedua terdakwa tersebut perbuatannya telah memenuhi ketentuan pidana yang terdapat didalam surat dakwaan, tetapi ternyata terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, karena terdapat faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, yaitu berupa:
a. Kepentingan umum yang dikerjakan atau dilayani oleh terdakwa,
b. Kepentingan pribadi yang tidak diperoleh oleh terdakwa, dan
c. Kerugian yang tidak diderita oleh negara atau masyarakat.
Terhadap adanya Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965 tersebut, Muladi mengingatkan: :Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966 yang memuat panarapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dengan menggunakan kriteria negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan umum dilayani, tentu saja tidak dapat diterapkan secara umum justru akan mendorong pelaku potensial untuk menggunakannyanya sebagai sarana pembenaran yang menstimulasi berkembangnya tindak pidana korupsi (Lode Van Outrive menyebutkan sebagai legislation as a corrup-tiongenic factor).
Dalam putusannya tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kalimat pertama dari penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap perbuatan tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai alasannya dalam puTUSAN Mahkamah Konstitusi tersebut diberikan pertimbangan hukum yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut:
Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 Ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.
Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, dimana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang perorang dalam masyarakat, maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (Wederrechtelifk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik dan norma-norma moral yangberlaku dimasyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 Ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan malawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid).oleh karena itu, apa yang dipatut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat , yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahea apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, didaerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangandengan norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah pula dikuatkan dalam Butir E Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan:
a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.
c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK, sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
1) Pasal 28D Ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dulu ada;
2) Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta.
3) Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijke), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003: 358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitgebot.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin ditempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang di sampaikan ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dalam persidangan.
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagaimana telah diketahui dalam ajaran atau konsep melawan hukum materiil dikenal adanya 2 (dua) fungsi, yaitu ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif dan dalam fungsinya yang negatif. Meskipun dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sampai dijelaskan atau disebutkan mana diantara kedua fungsi dari ajaran atau konsep malawan hukum materiil itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kiranya tidak akan ada perbedaan pendapat jika dikatakan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif saja, sedang ajaran atau konsep melawan hukum dalam fungsinya yang negatif tetap masih berlaku.
Dengan demikian menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, untukm menafsirkan unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1), tidak boleh lagi mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, tetapi harus mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum formil.
Apakah Hakim masih dapat memberikan tafsiran terhadap unsur “melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) adalah melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan terlebih dahulu Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan: “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” yang dalam penjelasannya disebutkan: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan penjelasannya tersebut, menurut hemat penulis dapat saja Hakim memberikan tafsiran terhadap unsur “melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat (1) dengan tafsiran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif jika menurut Hakim tafsiran tersebut akan menghasilkan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Putusan Hakim yang sedemikian ini adalah putusan yang dikehendaki oleh Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yaitu putusan “guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Yang harus ditegakkan oleh Hakim, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bukan hanya hukum saja, yaitu yang berupa kepastian hukum, tetapi juga keadilan.
Antara hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah merupakan dwitunggal yang harus ditegakkan oleh Hakim.
Selama Hakim dalam menyusun putusannya memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dengan penjelasannya, selama itu pula Hakim mempunyai dasar hukum untuk menafsirkan unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan ajaran atau konsep melawan hukum dalam fungsinya yang positif, meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa kalimat pertama dari penjelasan Pasal 2 Ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
ad. B
Dengan memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1), dapat diketahui bahwa unsur “melawan hukum” dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut merupakan sarana untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dengan demikian, sebagai akibat hukum dari perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut, meskipun suatu perbuatan telah “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, tetapi jika dilakukan tidak secara melawan hukum, perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1).
Andi Hamzah memberikan contoh tentang seseorang yang aktif melakukan tugas memberantas penyeludupan. Menurut peraturan ia akan mendapat premi yang cukup besar persentasenya dari volume barang yang diseludupkan. Oleh karenanya, orang ini telah memperkaya diri dengan menerima banyak premi yang dengan sendirinya telah merugikan keuangan negara langsung atau tidak langsung yang dibayarkan dari kas negara.
Yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini sudah tentu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya: menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dengan syarat tentunya dilakukan secara melawan hukum, jika akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1).
Senada dengan maksud unsur “memperkaya” seperti di atas adalah pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 Nomor 18/Pid/B/1992/PN/TNG yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya.
Adalah menarik untuk dikemukakan pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 April 1988 Nomor 144/Pid.B/1987 yang menyebutkan bahwa hasil tindak pidana korupsi yang dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi berkeliling ke Eropa adalah memenuhi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”.
Sebagai contoh dari dipenuhinya unsur “memperkaya suatu korporasi” adalahb seperti yang terdapat didalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 januari 1989 Nomor 241 K/Pid/1987, yaitu hasil tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan membeli tanah dan membangun kantor KUD.
Bagaimana jika hasil tindak pidana korupsi tersebutdipergunakan untuk main jadi, apakah masih dapat dikulifikasikan sebagai “memperkaya diri sendiri”?
Menurut hemat penulis, perbuatan tersebut masih dapat dikualifikasikan sebagai “memperkaya diri sendiri”, karena pada saat setelah terdakwa selesai melakukan perbuatannya terdakwa memang bertambah kaya, yaitu bertambah harta kekayaannya dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Bahwa kemudian hasil tindak pidana korupsi oleh terdakwa dipergunakan untuk main judi, hal tersebut merupakan masalah lain, yaitu masalah penggunaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak merupakan unsur dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1). Yang jelas adalah terdakwa pernah bertambah kaya dari hasil tindak pidana korupsi sebelum terdakwa menggunakan hasil tindak pidana korupsi tersebut untuk main judi.
ad. C
yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Adapun apa yang dimaksud dengan “keuangan negara”, didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan.
Didalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sabagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan “perekonomian negara” seperti yang disebutkan didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sangat kabur.
Akibatnya, sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” didalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1).
Dengan demikian, untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan “keuangan negara” tidak terlalu sulit, karena apa yang dimaksud dengan “keuangan negara” pengertiannya sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur “merugikan perekonomian negara” sangat sulit.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak begitu banyak atau langka adanya putusan Pengadilan yang didalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur “merugikan perekonomian negara”.
Salah satu putusan pengadilan yang didalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur “merugikan perekonomian negara” adalah Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 31 Oktober 1986 Nomor 1164K/Pid/1985 dengan terdakwa Tony Gozal alias Go Tiong Kien, Direktur CV Cipta Nusa yang pertimbangan hukumnya antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun di atasnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan pelabuhan Ujung Pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum.”
“Bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik negara, sehingga penggunaan daripadanya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian negara.”
Terhadap pertimbangan hukum tersebut, H. Baharuddin Lopa-Moh. Yamin telah menarik kesimpulan bahwa timbulnya kerugian perekonomian negara karena terdakwa telah melanggar ketentuan perizinan mengenai penggunaan wilayah perairan dan objek perbuatan terdakwa menyangkut suatu milik negara yang oleh negara dimanfaatkan untuk melayani kepentingan umum dalam bidang perekonomian.
Apa yang dimaksudkan dengan “merugikan perekonomian negara” seperti yang terdapat didalam pertimbangan hukum dari Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, kiranya dapat dipedomani untuk penerapan ketentuan tentang tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1), meskipun harus diakui putusan Mahkamah Agung RI tersebut dijatuhkan pada waktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 yang penjelasannya mengenai apa yang dimaksud dengan “perekonomian negara” tidak dirumuskan atau disusun seperti yang terdapat didalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
4. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) adalah berupa pidana sebagai berikut:
a. Pidana penjara seumur hidup;
ATAU
b. Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
DAN
c. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00- (satu miliar rupiah).
5A. Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah perubahan penjelasan Pasal 2 Ayat (2).
Sesudah diadakan perubahan, penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 Ayat (2) adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila:
a) Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi:
a.1. penanggulangan keadaan bahaya
a.2. bencana alam nasional
a.3. penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas
a.4. penanggulangan krisis ekonomi dan moneter
b) Pengulangan tindak pidana korupsi.
Yang dimaksud dengan “keadaan bahaya” dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) sudah tentu keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp tahun 1960 tentang Keadaan Bahaya.
Kapan terjadi keadaan bencana alam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi dan moneter seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) tersebut, sampai saat sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyatakan adanya keadaan tersebut.
Atas dasar Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, menurut hemat penulis sudah cukup dengan dikeluarkannya keputusan Presiden RI yang menyatakan telah terjadi bencana alam nasional atau kerusuhan sosial yang meluas atau krisis ekonomi dan moneter.
Apa yang dimaksud dengan “pengulangan” dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2), menurut hemat penulis adalah sama artinya dengan apa yang dimaksud dengan recidive dalamm ilmu hukum pidana. Namun, tenggang waktu selama 5 (lima) tahun seperti yang ditentukan dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 KUHP tidak berlaku untuk pengulangan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1).
5B. “Keadaan tertentu” dengan perincian seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) tersebut merupakan pemberatan pidana yang hanya dapat dijatuhkan khusus kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1).
Oleh karena merupakan pemberatan pidana yang dapat dijatuhkan, maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui adanya “keadaan tertentu” dengan perincian seperti tersebut di atas pada waktu melakukan tindak pidana korupsi.
Pemberatan pidana berupa pidana mati dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1), jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2).
Berhubung yang dipergunakan adalah kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya, meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam “keadaan tertentu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (2), terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dapat saja tidak dijatuhi pidana mati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar