Senin, 05 Januari 2015

TINDAK PIDANA KORUPSI DELIK FORMIL DALAM TATANAN TEORI TETAPI DELIK MATERIIL DIDALAM PRAKTEKNYA

Sebelum membahas tentang permasalahan diatas ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya isi Pasal yang tercantum didalam UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjadi idola para penyidik baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan didalam melakukan Penyidikan suatu tindak pidana korupsi sehingga kita tidak asal bicara apa itu “KORUPSI”….
Pasal 2
1.      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
2.      Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Menurut para akademisi yang memahami Pasal tersebut dengan sudut pandang teori dimana salah satunya adalah pendapat Satochid Kartanegara (Tanapa Tahun : 135-136), delik formil (Delict Met Formeele Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving/delik dengan perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh apabila telah timbulnya akibat yang dilarang.
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Dijelaskan kembali dalam pendapat R. Wiyono didalam bukunya bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan rumusan delik materiil formil pada Pasal 2 tersebut, sanksinya sudah dapat dijatuhkan jika unsur melawan hukumnya telah dipenuhi. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 4 undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus unsur pidananya.
Apakah didalam tatanan praktek proses penegakan hukum yang diawali dengan penyelidikan dan penyidikan melaksanakan pendapat diatas sepenuhnya, penulis yakin jawaban dari semua penyidik diseluruh Indonesia akan menjawab “tidak sesederhana demikian dalam melakukan proses Penyidikan maupun Penuntutan” atau jawaban lain yang pada pokoknya menjelaskan bahwa tidak ada perkara korupsi yang dilimpahkan ke pengadilan hanya dengan mengandalkan terbuktinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum  saja.
Apa yang terjadi didalam proses penegakan hukum ???

Tidak ada komentar: